Secara prinsip, asas retroaktif dikenal sebagai asas yang tidak bisa berlaku surut. Sebuah peraturan perundang-undangan diberlakukan ke depan (prospectively). Tidak boleh diberlakukan ke belakang sebelum peraturan itu berlaku.
Asas ini memberikan kepastian hukum kepada pelaku. Dimana pelaku yang dituduh melakukan perbuatan pidana tidak dapat dikenakan apabila sebelum peraturan itu berlaku.
Dalam pasal 1 ayat (1) KUHP ditegaskan “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada. Sedangkan ayat (2) “Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya.
Penegasan ini memperkuat sebagaimana rumusan Pasal 18 UU No. 39 Tahun 1999 UU HAM ayat (2) Setiap orang tidak boleh dituntut untuk dihukum atau dijatuhi pidana, kecuali berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan yang sudah ada sebelum tindak pidana itu dilakukannya. Pasal 18 UU No. 39 Tahun 1999 (3) Setiap ada perubahan dalam peraturan perundang-undangan, maka berlaku ketentuan yang paling menguntungkan bagi tersangka.
Dalam praktek, asas ini menimbulkan persoalan serius. Mahkamah Konstitusi pernah mempersoalkannya. Dalam pertimbangannya, MK mempertegas Pemberlakuan prinsip retroaktif dalam hukum pidana hanyalah merupakan suatu pengecualian yang hanya dibolehkan dan diberlakukan pada perkara pelanggaran HAM berat sebagai kejahatan yang serius yang merupakan jaminan hak-hak yang tidak dapat dikurangi
International Criminal Court melalui Statuta Roma sebagai representasi terhadap pelaksanaan secara substansial yang mengatur ketentuan mengenai hukum pidana internasional, seperti crimes against humanity, secara tegas-jelas menolak pengaturan asas retroaktif sebagaimana tercantum pada
Article 22, yaitu “A person shall not be criminally responsible under this statute unless the conduct in question constitute, at the time takes place, a crime within the jurisdiction of the court”.
Pemberlakuan asas retroaktif bertentangan dengan Pasal 1 ayat (1) KUHP yang menganut asas legalitas, yaitu “nullum delictum nulla poena sine previa lege poenali.”
Kesemuanya mempertegas rumusan pasal Pasal 28i UUD 1945.
Sebagai mana telah dpertimbangan oleh MK, mempertegas Pemberlakuan prinsip retroaktif dalam hukum pidana hanyalah merupakan suatu pengecualian yang hanya dibolehkan dan diberlakukan pada perkara pelanggaran HAM berat sebagai kejahatan yang serius, maka tidak dibenarkan memberlakukan asas retroaktif terhadap kejahatan selain pelanggaran HAM berat.