04 April 2021

opini musri nauli : Hukum Perdata

Didalam Hukum Perdata, Buku Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek) telah mengatur. KUHPerdata terdiri dari 4 bagian yaitu Buku 1 mengatur tentang orang (Van Personnenrecht), Buku 2 tentang Benda (Zaakenrecht), Buku 3 tentang Perikatan (Verbintenessenrecht) dan buku 4 tentang Daluwarsa dan pembuktian (Verjaring en Bewijs).


Dalam perkembangannnya, perkembangan hukum perdata telah jauh berkembang. Berbagai prinsip yang telah diatur didalam BW telah banyak mengalami kemajuan.


Mahkamah Agung kemudian mengeluarkan Surat Edaran No. 3/1963 tanggal 5 September 1963 yang disebarluaskan kepada semua Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia, yang menyatakan tidak berlaku lagi pasal-pasal tertentu dari KUHPerdata.


Menurut Subekti gagasan Menteri Kehakiman dan Surat Edaran Mahkamah Agung serta Seminar Hukum bukanlah suatu sumber hukum formil. Oleh karena itu, gagasan Menteri Kehakiman Dr. Sahardjo, S.H. yang menganggap Burgerlijk Wetboek (BW) bukan lagi suatu Wetboek tetapi hanya sebagai rechtboek yang kemudian disetujui oleh Mahkamah Agung dengan Surat Edarannya No. 3/1963, harus dipandang sebagai anjuran kepada para hakim untuk jangan ragu-ragu atau takut-takut menyingkirkan suatu pasal atau suatu ketentuan dari BW manakala mereka berpendapat bahwa pasal atau ketentuan BW itu sudah tidak sesuai lagi dengan kemajuan zaman atau keadaan kemerdekaan sekarang ini.


Pada waktu sekarang BW bukan lagi sebagai Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang berlaku secara menyeluruh seperti mulai diberlakukan pada tanggal 1 Mei 1848, tetapi beberapa bagian ketentuan yang terdapat di dalamnya sudah tidak berlaku lagi, baik karena adanya peraturan perundang-undangan nasional di lapangan perdata yang menggantikannya, maupun karena dikesampingkan dan mati oleh putusan-putusan hakim yang merupakan yurisprudensi karena ketentuan-ketentuan BW itu sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat dan kemajuan zaman sekarang.


Undang-undang nasional di lapangan perdata yang pertama kali secara radikal menyatakan tidak berlakunya lagi beberapa ketentuan dalam BW adalah Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, yang lebih dikenal dengan nama singkatan resminya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA). Dengan lahirnya UUPA ini tanggal 24 September 1960, maka bagian Buku II BW tentang benda, sepanjang mengenai bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, kecuali ketentuan-ketentuan mengenai hipotik yang masih berlaku pada mulai berlakunya undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku lagi.


Undang-undang nasional di lapangan perdata yang juga cukup besar mengakibatkan tidak berlakunya lagi beberapa ketentuan dalam BW adalah Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang lahir pada tanggal 2 Januari 1974 (LNRI 1974 No. 1).


Dengan adanya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 ini, maka pasal-pasal yang mengatur tentang perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan dalam Buku I BW, sepanjang telah diatur dalam undang-undang Perkawinan Nasional tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi.


Kemudian dengan lahirnya Undang-undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah, maka ketentuan-ketentuan tentang Hipotik dalam Buku II BW titel XXI Pasal 1162 s.d. 1232 sepanjang mengenai tanah tidak berlaku lagi. Namun, ketentuan-ketentuan tentang hipotik itu masih berlaku bagi kapal laut yang berukuran 20m3 ke atas.


Jadi secara yuridis formil kedudukan BW tetap sebagai undang-undang sebab BW tidak pernah dicabut dari kedudukannya sebagai undang-undang. Namun, pada waktu sekarang BW bukan lagi sebagai Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang bulat dan utuh seperti keadaan semula saat diundangkan.