Beberapa
waktu yang lalu, M. Asrori, menulis “mencermati Hukum Islam
dalam Pengembangan hukum Nasional. Tulisan ini menarik perhatian
penulis, selain berbagai peraturan yang dijadikan sorotan untuk
mendukung argumentasi M. Asrori, tulisan yang sama pernah juga
disampaikan oleh Hermanto Harun menawarkan
konsepsi Hukum Islam didalam upaya menyelesaikan berbagai persoalan
yang berkaitan dengan hukum yang terjadi di Indonesia pada tahun
2008.
Tulisan
ini bertolak belakang dengan tulisan yang pernah bahas pada tulisan
beberapa tahun yang lalu. Di Harian Jambi Star tanggal 13 November
2008, penulis telah menguraikan panjang lebar terhadap sistem hukum
Indonesia yang banyak dipengaruhi oleh Sistem hukum. Pikiran penulis
yang kemudian penulis beri judul “REPOSISI POLITIK ISLAM DALAM
SISTEM HUKUM INDONESIA.
Pada pokoknya penulis
memaparkan pikiran penulis yaitu berkaitan dengan sejarah politik
Islam baik dari masa dimulainya pembahasan Konstitusi (baca UUD 1945)
dimana tokoh-tokoh yang beraliran Islam sepakat untuk menghapuskan.
Issu tentang reposisi
Islam dalam rumusan Konstitusi (baca UUD 1945) telah selesai dibahas
ketika rumusan Pancasila dan Pembukaan Dasar UUD 1945, telah berhasil
meletakkan sila Pancasila “KETUHANAN YANG MAHA ESA” dengan
mengelimir kata-kata “dengan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya.
Perdebatan mengelimir kata-kata dalam kajian sejarah ketatanegaraan
membuktikan, tokoh-tokoh yang meletakkan pondasi konstitusi, tidak
menyeret identitas Islam sebagai bentuk formal ketatanegaraan.
Walaupun penduduk
Indonesia mayoritas Islam, namun dalam merumuskan ketatanegaraan,
identitas islam haruslah diletakkan konteks sebagai hubungan Ibadah
yang tidak dirumuskan secara formal. Rumusan yang memisahkan Islam
sebagai agama yang mayoritas dipeluk penduduk Indonesia berhasil
menyatukan berbagai pandangan tokoh Islam dalam melihat konteks Islam
dihubungkan dengan bentuk formal negara juga berhasil menyatukan
antara Islam dan kelompok-kelompok lain yang berfaham nasionalis
maupun sosialis. Bahkan dengan ditetapkannya rumusan itu, kemerdeaan
lebih dicapai karena adanya persatuan yang sangat dibutuhkan balita
Indonesia saat itu.
Dalam diskursus yang
lain, penghormatan negara Indonesia yang belia saat itu kepada
tokoh-tokoh Islam dalam percaturan politik, justru menyuburkan
tokoh-tokoh Islam. Tokoh-tokoh seperti Agus Salim, Muhammad Hatta,
Tjokroaminotono adalah tokoh-tokoh yang lebih nasionalis dibandingkan
tokoh-tokoh yang berlatar belakang nasionalis. Publik lebih mengingat
mereka sebagai tokoh yang lebih peduli mengurusi negara daripada
mengenal sebagai tokoh Islam. Padahal, catatan sejarah, tokoh-tokoh
yang menghiasi percaturan politik itu berlatar belakang Islam yang
sangat kental. Yang mengejawantah dalam kehidupan sehari-hari, sangat
disiplin, dan sederhana. Sebagai bentuk perwujudan nyata sebagai
ajaran islam yang membumi.
Berangkat
dari pemikiran itu, dalam kajian sejarah, reposisi politik Islam
lebih mengedepankan makna Tanah Air dalam konteks ketatanegaraan
tanpa terkungkung dalam paradigma yang sempit.
Pemilu
1955, NU kemudian menjadi salah satu partai yang terbukti meraih
suara yang luar biasa dan masuk dalam posisi yang mempengaruhi sistem
parlementer dan sistem politik saat itu. Ide Nasakom yang ditawarkan
oleh Soekarno sebagai terjemahan langsung Nasionalis, Agama dan
Komunis membuktikan posisi strategis umat islam dalam pandangan
Sooekarno.
Selain
juga tokoh seperti M. Natsir yang terbukti diakui secara
internasional dalam Kongres Sosialis Dunia 1956. Periode pasang ini
menjadi titik perhatian negara yang memberikan ruang kepada umat
Islam dalam percaturan politik di Indonesia.
Namun
periode ini kemudian mengalami hubungan yang surut, disaat bersamaan,
tokoh-tokoh Masyumi menjadi tokoh dalam berbagai pemberontakan di
tanah Air seperti PRRi/Permesta dan berbagai pemberontakan daerah
lain.
Terlepas
dari catatan sejarah yang membuktikan keterlibatan tokoh-tokoh
Masyumi dalam berbagai pemberontakan di tanah air. Hubungan ini
memaksa Soekarno juga memberikan posisi yang seimbang kepada Komunis
dan Tentara. Keseimbangan yang diberikan oleh Soekarno kepada Komunis
dan Tentara dengan pertimbangan oleh Soekarno, kekuatan politik tidak
menjadi dominan dan dapat dikontrol oleh Soekarno. Sehingga slogan
seperti Demokrasi terpimpin, Pemimpin Besar Revolusi, Perjuangan
belum Selesai adalh slogan oleh Soekarno agar kekuasaan terpusat pada
diri Soekarno.
Belum
selesai keinginan Soekarno. Soekarnopun tumbang. Soeharto yang secara
jeli memperhatikan kekuatan politik sebelum menerima mandat
Supersemar, memperhitungkan kekuatan politik termasuk politik islam.
Sehingga tahun 1971, politik Islam difusi dan berhimpun dalam partai
Persatuan Pembangunan. Kuatnya tarik-menarik aliran Islam di Partai
Persatuan Pembangunan, membuat NU kembali keluar dari PPP dan lebih
mengkonsetrasikan kepada upaya pembangunan umat. Dalam periode waktu
itu kemudian NU menjaddi salah satu aktor penting dalam politik islam
di Indonesia.
Kekuatan
Islam kemudian diuji dalam pembahasan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan. Rumusan negara yang menghendaki, perkawinan sah apabila
dicatat oleh negara kemudian ditentang secara luas dan kemudian
rumusan itu kembali menjadi rumusan sahnya perkawinan apabila
dipandang sah menurut agamanya masing-masing. Walaupun secara formil
tidak ada masalah dalam menentukan rumusan tentang sah dan resmi itu,
namun posisi politik islam berhasil mementahkan konsep pemikiran dari
negara yang menghendaki sahnya apabila dilakukan secara resmi.
Begitu
strategisnya posisi politik Islam dalam ketatanegaraan, pada tahun
1989 berhasil dilahirkan UU No. 9 tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
yang memisahkan urusan yang berkaitan dengan perceraian dan harta
warisan diselesaikan dalam pengadilan yang terpisah dari pengadilan
Umum. Bahkan prestasi ini kemudian juga diikuti dengna lahirnya
Kompilasi Hukum Islam dalam merumuskan persoalan yang berkaitan
dengan urusan-urusan privat dalam umat Islam.
Setelah
reformasi bergulir, kran politik telah dibuka, maka bermunculan
partai-partai yang mengklaim sebagai partai Islam. Partai-partai
itupun mengerucut dengan lahirnya partai seperti PKB yang dibidani
oleh NU (walaupun NU juga melahirkan partai yang lain), PBB sebagai
identitas kaum islam sosialis, PAN (walaupun kemudian menyatakan
tidak bagian dari Muhammadiyah), dan berbagai aliran politik islam
lainnya. Sehingga dari pesertai 48 partai peserta Pemilu 1999, 8
partai yang berlatar belakang Islam.
Dari
partai-partai yang lahir yang berlatar belakang Islam, kemudian
mewarnai politik di Indonesia yang juga mempengaruhi sistem hukum
Indonesia.
Didaerah
yang kemudian partai-partai menguasai parlemen atau berhasil
memenangkan Pilkada, menyebabkan lahirnrya berbagai perda-perda
syariah. Perda Syariah yang mengakomodasikan kepentingan islam dalam
politik Indonesia kemdian menemukan bentuk yang kemudian mengikrarkan
sebagai Islam yang Formal. Sehingga dalam berbagai daerah,
mencampur-adukkan antara urusan Ibadah dengan menggunakan sistem
hukum negara.
Maraknya
perda-perda syariah kemudian menimbulkan perdebatan dalam kajian
sistem hukum nasional dan sistem hukum di Indonesia. Perda Syariah
kemudian melanggar asas kepastian hukum dan membuat sistem hukum
menjadi rancu. Urusan ibadah yang semestinya adalah urusan manusia
dengan penciptanya kemudian disalahgunakan menjadi urusan negara.
Bahkan praktis, di berbagai daerah, rumusan itu juga bertentangan
dengan berbagai konvensi internasional yang memberikan perlindungan
HAM kepada warga negara.
Identitas
Islam secara formal juga menjadi salah kaprah dengan memaknai jihad
dengan melakukan teror-teror dalam melakukan kejahatan. Peristiwa Bom
Bali I, dan berbagai bom yang terjadi di tanah air melahirkan UU No.
16 Tahun 2003 Tentang Terorisme. UU ini kemudian menjadi perdebatan
panjang baik dilihat dari asas berlaku surut, asas kepastian hukum,
asas pembuktian, kesalahan dan pertanggungjawaban, juga menimbulkan
persoalan dalam lapangan hukum pidana. Sehingga peristiwa berbagai
bom yang terjadi di tanah air mewarnai konsentrasi nasional dalam
menyelesaikan persoalan yang terjadi.
Namun
yang menjadi catatan penting bagi penulis, disaat disahkannya UU
Pornografi yang mempengaruhi sistem hukum di Indonesia. (Lihat RUU
Pornografi dan Persepsi Kita tentang Porno, JE, 10 November 2008).
UU
ini akan banyak mempengaruhi sistem hukum di Indonesia baik didalam
pembuktian terpenuhi atau tidaknya unsur yang dituduhkan, teori
kesalahan dan pertanggungjawaban pidana, asas kepastian hukum dan
aspek keadilan didalam UU itu.
Berbagai
rumusan yang telah penulis sampaikan, membuat UU ini menjadi salah
satu UU yang paling menyita perhatian publik disamping UU No. 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan, UU No. 14 Tahun 1992 Tentang Lalu Lintas dan
RUU PKB (Penanggulangan Keadaan Berbahaya).
UU
ini kemudian memantik perdebatan panjang dan menimbulkan reaksi di
berbagai kalangan. Partai-partai Islam lebih mementingkan kepada
unsur-unsur didalam pasal RUU itu untuk dapat disahkan walaupun
menurut penulis lebih tepat diletakkan dalam konteks norma agama.
Sementara partai nasionalis lebih mengedepankan penghormatan kepada
budaya yang memisahkan antara budaya yang tumbuh dan berkembang di
tengah masyarakat daripada persoalan pornografi. Sehingga gelombang
penolakan dan menyetujui membuat dikotomi antara berbagai pihak
menjadi menganga lebar. Dengan demikian, politik Islam di Indonesia
berhasil meletakkan posisi politik Islam sebagai identitas islam yang
formal dari ketatanegaraan dan sistem politik di Indonesia yang juga
mempengaruhi sistem hukum di Indonesia.
Selain
itu dalam penelitiannya mengenai hubungan dan peran konstitusi
terhadap kebebasan menjalankan agama, Tad Stahnke dan Robert C. Blitt
(2005) membagi negara-negara berpenduduk mayoritas muslim di dunia
menjadi empat kategori. Keempat kategori negara tersebut yaitu: (1)
negara yang mendeklarasikan dirinya sebagai negara Islam, misalnya
Afganistan, Iran, dan Saudi Arabia; (2) negara yang menyatakan Islam
sebagai agama resmi negara, misalnya Irak, Malaysia, dan Mesir; (3)
negara yang mendeklarasikannya dirinya sebagai negara sekuler,
misalnya Senegal, Tajikistan, dan Tuki; serta (4) mereka yang tidak
memiliki deklarasi apapun di dalam Konstitusinya, seperti Indonesia,
Sudan, dan Siria.
Jika
Indonesia dimasukan dalam kategori negara yang tidak mendeklarasikan
bentuk apapun dalam hal hubungan antara negara dengan agama di dalam
Konstitusinya, maka menjadi pertanyaan sekarang adalah apakah konsep
yang sebenarnya diusung oleh para founding people negara kita? Untuk
menjawab pertanyaan ini, Mahfud M.D mencoba menjelaskannya melalui
konsepsi prismatik dengan meminjam istilah dari Fred W. Riggs.
Indonesia
merupakan negara Pancasila, artinya bukan sebagai negara agama karena
negara agama hanya mendasarkan diri pada satu agama tertentu, tetapi
negara Pancasila juga tidak dapat dikatakan sebagai negara sekuler
karena negara sekuler sama sekali tidak mau terlibat dalam urusan
agama.
Menurutnya,
negara Pancasila adalah sebuah religious nation state yakni sebuah
negara kebangsaan yang religius yang melindungi dan memfasilitasi
berkembangnya semua agama yang dipeluk oleh rakyatnya tanpa
membedakan besarnya jumlah pemeluk masing-masing (Mahfud M.D., 2007).
Dari paparan yang telah
penulis sampaikan, ada beberapa pemikiran yang dapat ditarik sebagai
pembelajaran kita selanjutnya. Pertama. Pergeseran identitas Islam
yang nasionalis menjadi pergeseran identitas Islam berbentuk formal
dalam sistem politik Indonesia merupakan kemunduran dalam melihat
berbangsa dan bertanah air yang berhasil dirumuskan dalam Sumpah
Pemuda Tahun 1928 dan dalam Konstitusi. Sudah saatnya rumusan
persoalan pengelolaan yang berkaitan dengan sistem perkawinan,
perceraian dan harta warisan kembali diletakkan dalam wilayah
Pengadilan Umum. Sehingga Pengadilan Agama merupakan subsistem dari
pengadilan Umum. Dapat disamakan seperti Pengadilan ad hock
Perburuhan, Pengadilan Anak, Pengadilan ad korupsi, Pengadilan Niaga
dan sebagainya. Sehingga rumusan Peradilan di Indonesia cukup 3 saja
yaitu Peradilan Umum (yang meliputi seperti yang telah diuraikan),
Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Militer.
Kedua. Harus diberi porsi
yang cukup juga terhadap sebagian kalangan umat islam yang plural.
Yang meletakkan islam sebagai identitas agama tanpa masuk kedalam
wilayah publik.
Ketiga. Adanya rumusan
yang berkaitan dengan hukum tidak dapat berangkat dari norma agama.
Selain tidak memenuhi asas kepastian hukum. Norma agama masih menjadi
perdebatan dan yang pasti norma agama hanya dapat diberlakukan kepada
umat agama itu sehingga dapat menjadi tirani mayoritas.
Keempat, tidak
menggunakan simbol-simbol agama dalam menyelesaikan persoalan yang
berkaitan dengan hukum. Peristiwa pernikahan Syech Puji dengan
perempuan yang berumur 12 tahun haruslah diselesaikan dengan hukum
tidak berangkat dari tafsiran agama yang sempit yang hanya melihat
dari sudut pandang saja. Kelima. Sudah saatnya umat islam yang
menjadi mayoritas di Indonesia menjadi rahmatanlil alamin. Menjadi
rahmat bagi berbagai umat manusia. Sudah saatnya, tafsiran-tafsiran
yang berkaitan dengan agama haruslah dilihat dari konteknya dan tidak
melakukan tafsiran-tafsiran teks yang sempit. Sehingga justru
merugikan pandangan terhadap umat islam.
Penulis yakin dengan
tawaran pemikiran yang telah disampaikan, karena penulis berangkat
setelah melihat dari perjalanan sejarah politik islam dalam sistem
ketatanegaraan dan sistem politik yang mempengaruhi sistem politik di
Indonesia.
Berangkat
dari konsepsi tersebut, maka adalah suatu keniscayaan bahwa negara
mempunyai kewajiban konstitusional (constitutional obligation) untuk
melindungi kebebasan beragama bagi setiap warga negaranya. Mengutip
asosiasi yang digunakan oleh Jimly Asshiddiqie, ketika Konstitusi
berada di salah satu tangan kita, maka kitab suci agama selalu berada
di satu tangan lainya. Artinya, kedua hal tersebut haruslah berjalan
secara harmonis dan tidak dapat dipertentangkan satu sama lainnya.
Nah,
dari paparan yang telah penulis sampaikan, baik dilihat dari rumusan
UUD 1945 yang dilihat daria sejarah hukum di Indonesia, sistem hukum
dan berbagai argumentasi yang telah penulis sampaikan, maka sudah
sepantasnya, Apakah hukum Islam masih menarik untuk dibahas ?