Akhir-akhir ini dunia politik Indonesia sedang gemuruh. Gemuruh politik ini apabila disandingkan dengan pementasan wayang, diibaratkan “goro-goro”, suasana heboh, tidak tentu, ribut, semua orang menganggap dia yang paling benar. Goro-goro ini sering dipentaskan pada malam hari menjelang pagi. Disaat penonton sebagian terkantuk-kantuk mendengarkan wayang, goro-goro diperlukan sebagai penghilang rasa kantuk.
Goro-goro juga diperlukan sebagai bentuk bakti rakyat kepada rajanya. Goro-goro diperlukan agar yang bathil keluar dari wujud manusia dan yang baik akan memimpin selanjutnya. Goro-goro juga diperlukan untuk melihat siapa yang jujur dan siapa yang berhati culas.
Entah apa yang sesungguhnya terjadi. Hanya dalang yang tahu. Dalanglah yang akan menentukan lakon selanjutnya. Dalang pula yang menentukan siapa wayang yang akan dikeluarkan dan siapa pula yang akan disimpan masuk peti.
Lakon Century mulai memasuki babak baru.
Hiruk pikuk dan gemuruh kasus Century mulai bergeser dari senayan ke istana. Parlemen telah menetapkan adanya hak menyatakan pendapat dalam menilai kasus Bank Century. Penetapan hak menyatakan pendapat telah memberikan rekomendasi akhir bahwa dana talangan yang diberikan kepada Bank Century menemukan penyimpangan.
Sehingga dana talangan yang semestinya digunakan untuk bank sehat diindikasikan “bau tidak sedap”.
Sekarang wacana bergeser. Apabila rekomendasi DPR didalam menilai “bau tidak sedap’ berdimensi politik, maka sekarang issu hukum mulai merebak.
Wacana seperti Kebijakan, kebijaksanaan dan Kebijakan tidak dapat dipidana mulai bersileweran di wacana publik. Dari pemikiran inilah, penulis urun rembug untuk melihat kasus ini secara jernih.
Ilmu kebijakan adalah terjemahan langsung dari kata policy science (Dror, 1968: 6-8 ).
Beberapa penulis besar dalam ilmu ini, seperti William Dunn, Charles Jones, Lee Friedman, dan lain-lain, menggunakan istilah public policy dan public policy analysis dalam pengertian yang tidak berbeda.
Istilah kebijaksanaan atau kebijakan yang diterjemahkan dari kata policy memang biasanya dikaitkan dengan keputusan pemerintah, karena pemerintahlah yang mempunyai wewenang atau kekuasaan untuk mengarahkan masyarakat, dan bertanggung jawab melayani kepentingan umum.
Ini sejalan dengan pengertian public itu sendiri dalam bahasa Indonesia yang berarti pemerintah, masyarakat atau umum.
Dengan demikian perbedaan makna antara perkataan kebijaksanaan dan kebijakan tidak menjadi persoalan, selama kedua istilah itu diartikan sebagai keputusan pemerintah yang relatif bersifat umum dan ditujukan kepada masyarakat umum.
Kebijakan (policy), sangat erat kaitannya dengan kewenangan, kebijakan muncul karena adanya kewenangan, kewenangan berkaitan dengan jabatan, kebijakan hanya dapat dilakukan oleh karena adanya kewenangan yang melekat pada seseorang.
Orang yang tidak mempunyai kewenangan tidak dapat menerbitkan kebijakan
Kebijaksanaan merupakan suatu bentuk pengenyampingan terhadap aturan, diumpamakan dalam suatu hal telah ada ketentuan tentang larangan untuk melakukan atau dilakukan sesuatu, tetapi kemudian terdapat pengenyampingan aturan tersebut bahwa sesuatu atau dapat dilakukan atau boleh melakukan sesuatu yang telah dilarang, diperkenankannya melakukan atau dilakukan sesuatu yang dilarang tersebut disertai dengan syarat.
Kebijaksanaan berkaitan erat dengan syarat yang harus dipenuhi oleh pihak yang mendapatkan kebijaksanaan, calon penerima kebijaksanaan harus melakukan/memberikan/membuat sesuau agar kebijaksanaan dapat dikeluarkan, apabila syarat untuk dikeluarkannya kebijaksanaan tidak dipenuhi, maka kebijaksanaan tersebut tidak dapat dikeluarkan oleh pihak yang mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan kebijaksanaan.
Dengan demikian, “bijaksana” memiliki arti yang sama dengan kata “bijak”, yaitu selalu menggunakan akal budinya (pengalaman dan pengetahuan), arif, dan tajam pikiran. Sedangkan “kebijaksanaan” merujuk pada kepandaian menggunakan akal budinya (pengalaman dan pengetahuannya)
Perbedaan kata kebijakan dengan kebijaksanaan berasal dari keinginan untuk membedakan istilah policy sebgai keputusan pemerintah yang bersifat umum dan berlaku untuk seluruh anggota masyarakat, dengan istilah discretion, yang dapat diartikan “ilah” atau keputusan yang bersifat kasuistis untuk sesuatu hal pada suatu waktu tertentu. Kata policy secara etimologis berasal dari kata polis dalam bahasa Yunani (Greek), yang berarti negara-kota.
Dalam bahasa latin kata ini menjadi politia, artinya negara. Masuk kedalam bahasa Inggris lama (Middle English), kata tersebut menjadi policie, yang pengertiannya berkaitan dengan urusan perintah atau administrasi pemerintah (Dunn,1981:7). (lihat Kebijakan Publik karangan Said Zainal Abidin, Edisi Revisi, tahun 2004, Penerbit: Yayasan Pancur Siwah, Jakarta).
Dalam konteks hukum tata usaha negara Indonesia, masih terdapat kerancuan mengenai hubungan antara kebijakan dengan keputusan (beschicking) maupun pengaturan (regelling).
Dalam konteks peraturan perundangan, kebijakan memiliki konotasi kesejahteraan masyarakat. Pada masa Orde Baru,
kebijaksanaan juga digunakan untuk kebijakan.
Dalam realitas di masyarakat, seringkali terjadi kerancuan dalam memahami kesamaan dan perbedaan antara hukum, kebijakan dan kebijaksanaan.
Hukum dipahami/diartikan dengan kebijakan, kebijakan dipandang sama dengan kebijaksanaan, bahkan yang paling rancu seringkali ada kebijakan atau kebijaksanaan dipandang sebagai hukum.
Pembedaan ini sengaja penulis sampaikan karena menimbulkan akibat hukum. Kebijakan, maka akan menimbulanm konskwensi hukum yang muncul sebagai akibat diterbitkannya.
Kebijakan merupakan tanggung jawab dari pengambil kebijakan, sedangkan bagi pelaksana kebijakan, selama dalam pelaksanaannya tidak menyimpang dari kebijakan yang ada maka tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum atas akibat dari pelaksanaan kebijakan.
Namun apabila dalam pelaksanaan kebijakan ada penyimpangan dan berdampak hukum maka pelaksana kebijakan yang menyimpang bertanggung jawab secara pribadi (Ultra Vires) atas dampak yang muncul.
Untuk kebijaksanaan, maka apabila pemohon kebijaksanaan tidak memenuhi klausula/syarat diberikannya kebijaksanaan, maka pihak yang berwenang memberi kebijaksanaan tentu tidak dapat mengeluarkan kebijaksanaannya, sebaliknya apabila syarat tidak dipenuhi sementara pengambil kebijaksanaan tetap mengeluarkan kebijaksanaan maka pengambil kebijaksanaan dapat dimintai pertanggung jawaban hukum/sanksi atas tindakannya.
Sedangkan apabila apabila syarat tidak terpenuhi sementara kebijaksanaan tetap dikeluarkan maka pengambil kebijaksanaan dapat dianggap telah melakukan perbuatan melawan hukum.
Berangkat dari paparan yang telah penulis sampaikan, maka barulah kita melihat kepada konteks pada kasus Bank Century. Didalam melihat kasus ini, maka haruslah dilihat ketentuan norma yang dilanggar dalam proses bail out, dana talangan, merger dan pengucuran dana tersebut.
Ketentuan yang mengatur tentu saja UU Korupsi, UU Pencucian Uang, UU Perbankan dan tindak pidana umum lainnya. Untuk mengidentifikasi perbuatan yang dapat diancama, maka kita harus memetakan dahulu persoalannya.
Pertanyaan seperti, apakah para pengambil kebijakan mengetahui kewenangan yang ada ? apakah proses nya telah melalui mekanisme yang baik. Apakah hal-hal yang diatur telah sesuai dengan kewenangannya.
Apabila kita perhatikan kepada tayangan live tv, maka didapatkan fakta bahwa kewenangan KSSK, BI, LPS didalam melaksanakan tahap-tahap bail out masih kabur.
Apakah begitu berdampak sistematik yang membuat para pemangku kebijakan mengambil keputusan itu. Fakta-fakta yang terungkap memberikan catatan penting, bahwa Bank century sama sekali tidak dapat dikategorikan sebagai bank yang berdampak sistematik.
Transaksi dengan Bank Century sama sekali tidak menganggu industri perbankan nasional. (bandingkan saat rush bank BCA beberapa waktu yang lalu).
Apakah begitu parahnya emergency dan berdampak sistematik sehingga rapat diadakan dan keputusan harus diambil sampai jam 4 subuh ? apakah upaya penggantian ketentuan Peraturan BI untuk mencukupi syarat sehingga Bank Century bisa mendapatkan talangan?
Sorotan didalam melihat kewenangan dari pemangku kebijakan merupakan salah satu sendi untuk melihat apakah kebijakan itu dapat diproses hukum atau tidak.
Secara kasat mata dengan jelas tergambar, bahwa upaya sistematis untuk mencukupi Bank Century mendapatkan dana talangan berindikasikan “aroma tidak sedap”.
Pernyataan Direktur BI yang memberikan penjelasan bahwa Bank Century tidak layak diberikan dana talangan sama sekali diabaikan para pemangku kebijakan.
Para pemangku kebijakan kemudian memutuskan tetap memberikan dana talangan kepada Bank Century.
Cerita ini semakin “tidak sedap” disaat bersamaan keputusan Pemerintah memberikan talangan sama sekali tidak diketahui Kepala Negara ad interm Wakil Presiden.
Wapres Jusuf Kalla justru dikabarkan setelah dana dikucurkan.
Dengan demikian, maka secara formal, kewenangan pemangku kebijakan didalam pengucuran dana talangan sudah bermasalah.
Permasalahan inilah yang membuat DPR meradang karena kewenangan yang diberikan menggunakan Perpu No. 4 tahun 2008 yang kemudian terbukti tidak berlaku.
Maka sudah jelas kelihatan, bahwa kebijakan yang dilakukan bermasalah.
Atau dengan kata lain, bahwa kewenangan pemangku kebijakan menimbulkan persoalan.
Dari ranah ini kemudian penulis membantah pernyataan bahwa kebijakan tidak dapat diproses secara hukum.
Walaupun penulis menyoroti kewenangan pemangku kebijakan yang bermasalah namun penulis mencoba mengidentifikasi apakah terhadap kewenangan yang bermasalah tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
Didalam lapangan hukum pidana, untuk melihat kesalahan seseorang selain daripada telah terjadinya tindak pidana, adanya kesalahan pada diri terdakwa dan terdakwa dapat dipertanggungjawabkan.
Berangkat dari pemikiran itu, maka penulis akan mencoba mengidentifikasikan untuk melihat kesalahan dari para pemangku kebijakan.
Didalam melihat kesalahan terutama dihubungkan dengan UU Korupsi, UU Perbankan, UU Money loundry dan tindak pidana lainnya, maka menurut penulis masih menjadi persoalan didalam lapangan pembuktian.
Upaya yang dilakukan para pemangku kebijakan didalam menyelamatkan krisis haruslah diberi konteks dari sudut pandang ilmu ekonomi.
Dari ranah ini sebenarnya, upaya penyelamatan yang dilakukan haruslah steril dari keuntungan yang didapat para pemangku kebijakan.
Sehingga unsur “kerugian negara” sebagai unsur yang essensial dari tindak pidana korupsi haruslah dibuktikan.
Hasil audit BPK yang menghitung kerugian negara akibat Bail out haruslah diletakkan pada konteks upaya menyelamatkan keuangan negara.
Bukan potensi kerugian negara yang akan terjadi. Kerugian negara yang bisa ditimbulkan dari dana talangan harus juga diletakkan pada konteksnya yaitu mengembalikan kerugian negara tersebut baik melalui mekanisme gugatan perdata maupun administrasi negara.
Dari ranah ini, hasil audit BPK barulah dijadikan dasar untuk melihat kesalahan dan para pemangku dapat dipertanggungjawabkan.
Ketentuan ini sengaja penulis sedikit uraikan agar kita bisa mengidentifikasikan kasus Century secara obyektif.
Dengan demikian, apabila uraian ini tidak bisa ditemukan pada kasus Century, maka sudah seharusnya, para pemangku kebijakan harus mempertanggungjawabkan dimuka hukum (Ultra Vires).