Akhir-akhir ini ruang publik
disibukkan wacana pemberian hak imunitas kepada komisioner KPK. Hak imunitas
diwacanakan setelah melihat ancaman keberadaan komisioner KPK yang
dikriminalisasi dan terus menerus “diseret” dalam tarik menarik “ dalam laporan di kepolisian.
Bermula dari penangkapan Bambang
Widjojanto (BW) dan laporan yang terus berlanjut terhadap Adnan Pandu Praja dan
Abraham Samad.
Praktis komisioner KPK tinggal 3
orang setelah Busro Muqaddas (BM) habis masa jabatan dan belum dipilihnya
pengganti BM dan mengundurkan diri BW setelah ditetapkan tersangka.
Melihat keadaan demikian, wacana mendesak
Presiden untuk mengeluarkan Perpu memberikan hak imunitas kemudian komisioner
KPK untuk menjalankan tugas-tugas di KPK.
Reaksipun bermunculan. Ada yang
setuju pemberian hak imunitas kepada komisioner KPK. Namun banyak yang menolak
dengan alasan “tidak ada satupun warganegara” yang bebas dari proses hukum.
Alasan klasikpun digunakan. Asas equality before the law. Asas persamaan dimuka
hukum.
Sebelum kita menyetujui hak
imunitas, hak imunitas telah mendapatkan perhatian penuh dari berbagai
kalangan. Didalam kamus Bahasa Indonesia, imunitas ditafsirkan hak anggota
lembaga perwakilan rakyat dan para menteri untuk membicarakan atau menyatakan
secara tertulis segala hal di dl lembaga tsb tanpa boleh dituntut di muka
pengadilan. Atau hak para kepala negara, anggota perwakilan diplomatik untuk
tidak tunduk pd hukum pidana, hukum perdata, dan hukum administrasi negara yg
dilalui atau negara tempat mereka bekerja; hak eksteritorial.
Dengan melihat definisi, maka
imunitas berkaitan dengan melepaskan pertanggungjawaban hukum yang berkaitan
dengan pekerjaan.
Apabila kita lihat didalam
berbagai peraturan, maka imunitas kemudian dapat kita lihat didalam konstitusi
terhadap Presiden/wakil Presiden. Presiden/wakil Presiden diberikan privilege
terhadap proses pemeriksaannya dari berbagai proses hukum.
Privilege diberikan selain
“menghargai” Presiden sebagai kepala negara juga berkaitan dengan “perlindungan
dan kepastian terhadap roda pemerintahan. Ketentuan ini diatur setelah didalam
konstitusi setelah kita mengalami pengalaman buruk jatuhnya Presiden Soekarno
pada tahun 1967, karena ditariknya mandat oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara (MPRS) melalui Ketetapan (Tap) MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 hanya
dengan alasan mayoritas anggota MPRS tidak menerima pidato pertanggungjawaban
Presiden Soekarno, yang dinamainya Nawaksara, mengenai sebab-sebab terjadinya
peristiwa G 30S/PKI .
Sedangkan Presiden Abdurrahman
Wahid pada tahun 2001 diturunkan ditengah jalan dengan alasan Presiden
Abdurrahman Wahid dinilai telah melakukan pelanggaran hukum dan konstitusi.
Kepala Daerah pernah mempunyai
hak imunitas dalam “pemanggilan baik sebagai saksi maupun sebagai tersangka
yang memerlukan izin dari Presiden” sebagaimana diatur didalam pasal 36 a
UU Pemda. Namun hak ini kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Begitu juga notaris yang semula “tidak
bisa dilakukan dilakukan pemeriksaan terhadap notaris sebelum adanya
persetujuan dari Majelis Pengawas Daerah” sebagaimana diatur didalam pasal
66 UU Notaris. MK kemudian membatalkannya.
UU Lingkungan Hidup juga
memberikan perlindungan kepada pejuang lingkungan (human right defender).
Begitu juga wartawan yang dilindungi dengan UU Pers.
Dalam kasus Dr. Dewa Ayu yang
menghebohkan, kalangan dokter berlindung UU Kedokteran. Dr. Dewa Ayu tidak
dapat dipersalahkan kematian terhadap Julia Fransiska Makatey (25).
Di tingkat Pengadilan Negeri
Manado, sang dokter dibebaskan. Namun MA memutuskan Dr. Dewa Ayu dkk dianggap
bersalah sehingga bertanggungjawab secara hukum. MA tetap menghormati hak
imunitas Dr Dewa Ayu, namun Dr. Dewa Ayu dianggap lalai.
Hakim dan Jaksa Penuntut Umum
diberikan hak imunitas. Hak imunitas diberikan agar sebelum dilakukan
penangkapan maupun penahanan memerlukan izin. Bahkan Kepala Desapun diberikan
hak imunitas termasuk izin untuk dilakukan penangkapan, penahanan maupun
pemeriksaan dalam proses hokum sebagaimana diatur didalam PP No. 72 tahun 2005.
UU Advokat juga memberikan hak
imunitas kepada Advokat. Hak imunitas diberikan kepada advokat agar advokat
bebas dalam melaksanakan tugasnya termasuk mengeluarkan pendapat atau
pernyataan dalam membela perkara. Didalam Surat keputusan Bersama antara
kepolisian Republik Indonesia dengan PERADI, pemanggilan terhadap advokat baik
sebagai saksi maupun tersangka disampaikan terlebih dahulu kepada PERADI.
PERADI kemudian mengadakan sidang dan membentuk Dewan Kehormatan untuk memeriksa advokat. Bahkan PERADI sendiri
memastikan advokat harus memenuhi panggilan dari penyidik sebagai bentuk
kewajiban warganegara memberikan kesaksian sebagaimana diatur didalam pasal 224
KUHP. Hak imunitas advokat kemudian diperkuat oleh MK.
Melihat ketentuan hak imunitas
terhadap Presiden, Kepala Daerah, Notaris, dokter, aktivis lingkungan, wartawan,
hakim, jaksa penuntut umu, Kepala Desa dan advokat maka hak imunitas dapat
diberikan kepada Komisioner KPK.
Hak imunitas diberikan dilandasi
penghormatan kepada komisioner KPK didalam menjalankan tugas-tugasnya didalam
memberantas korupsi. Dan untuk menjamin terhadap kepastian hokum dan
perlindungan (privilege) dari gangguan upaya sistematis penghancuran KPK.
Hak imunitas kemudian diberikan kepada
komisioner KPK dari proses pemanggilan, penangkapan, penahanan terhadap
komisioner KPK yang memerlukan izin dari Presiden.
Hak imunitas diberikan dengan
itikad baik dan ditempatkan dalam sistem peradilan pidana. Hak imunitas tidak menghilangkan proses hokum (kekebalan
hokum) dan menempatkan diri komisioner KPK lepas dari tanggung jawab hokum. Namun
hak imunitas tidak berlaku terhadap tindak pidana dalam tertangkap tangan.
Sehingga tidak tepat ada wacana,
pemberian hak imunitas kepada komisioner KPK mengabaikan asas persamaan dimuka hokum
(equality before the law).
Dimuat di Harian Jambi Ekspress, 3 Januari 2015