“Mereka berjanji
membangun jembatan
meskipun
sebenarnya tidak ada sungai di sana.”
Nikita Kruschev
(1894-1971)
Ketika menghadiri
acara Hari Puisi Nasional, saya mendapatkan undangan untuk menghadiri acara “Bang Ros Show” di Hotel
Novita tanggal 29 Juli 2017. Yang terbayang saya terhadap acara pasti akan
seru, menarik, mengkritik bahkan mengecam tahun 2 Pemerintahan Zumi
Zola/Fachori Umar. Saya akan membayangkan angka-angka, data-data bahkan
keberhasilan pembangunan yang telah dijalani selama Pemerintahan Zola/Fachrori.
Setelah
menghadiri pertemuan di Walhi Jambi, saya kemudian meluncur bersama dengan Feri
Irawan (mantan Direktur Walhi Jambi dan Husni Thamri (kak ook/Pesta Pinse). Saya
kemudian tekun mendengarkan paparan dari pemateri yang terdiri dari Pantun
Bukit, AR Syahbandar dan Asad Isma. Ketiganya kemudian menyoroti aspek
perjalanan Pemerintahan Propinsi Jambi dilihat dari aspek pemerintahan seperti “Pemberhentian
31 SKPD dan 600 pengangkatan pejabat Eselon 3 dan Eselon 4, pendidikan, Pulau
Berhala dan aspek lain seperti penerimaan siswa baru. Saya kemudian mencatat
setiap detail yang dipaparkn sembari melihat angka-angka ataupun data-data yang
bisa disampaikan.
Saya kemudian
tertarik melihat perjalanan Pemerintahan Zola/Fachori tahun ke 2 dari 3 aspek.
Aspek pertama yaitu Zola sebagai Politisi,. Aspek kedua Zola sebagai Kepala
Pemerintahan (Gubernur) dan aspek ketiga berkaitan dengan Pemimpin “Idol”.
Dari aspek
Politisi saya kemudian teringat perkataan Nikita Kruschev (1894 – 1971) yang
menyebutkan politisi “Mereka berjanji membangun jembatan meskipun sebenarnya
tidak ada sungai disana.
Dalam
diskusi-diskusi informal, pernyataan ini melambangkan “janji” politik yang
“membuai” dan “meninabobokkan” pendengarnya (audience). Makna “mereka berjanji
membangun jembatan” dipadankan dengan kalimat “meskipun sebenarnya tidak ada
sungai” adalah janji yang diucapkan dihadapan audience walaupun janji itu tidak
dapat dipenuhi.
Ya. Janji
politisi “sulit dipegang”. Janji politisi sulit diukur apakah akan bisa
“tertunai” ataupun bisa dipenuhi” setelah terpilih.
Program pertama
Zola/Fachori “Merebut pulau berhala’.
Janji heroic dan sekaligus “membangkitkan spirit untuk memilihnya”. Dan janji
ini kemudian membangkitkan “harapan” sekaligus “mengaduk-aduk emosi rakyat
Jambi yang sempat terluka “setelah
lepasnya Pulau Berhala’.
Secara sekilas,
janji “merebut Pulau Berhala” mampu menggetarkan dan membangkitkan sebagai
perlawanan heroic sebagai program unggulan.
Namun sebagai
janji politisi yang sulit diukur untuk meraihnya, setelah terpilih maka tidak
ada satupun desain didalam upaya untuk mewujudkannya. Program ini tidak jelas
cerita juntrungannya.
Padahal MK
telah tegas memutuskan Pulau Berhala masuk kedalam wilayah administrasi
Kabupaten Lingga.
Lalu apa saja
kerja anggota DPR-RI dari Jambi ketika pembahasan UU Kabupaten Lingga yang
kemudian memasukkan wilayah Pulau Berhala masuk kedalam kabupaten Lingga ?
Dimana mereka ketika pembahasan UU tersebut.
Padahal
peta-peta peninggalan Belanda jelas menunjukkan Pulau Berhala (disebutkan
didalam peta sebagai “straat Berhala”) masuk kedalam Residentie Djambi. Baik
didalam peta seperti peta Schetskaart Residenntie Djambi. Peta-peta ini justru
menunjukkan nyata-nyata Residentie Riouw tidak memasukkan Pulau berhala masuk
kedalam wilayah administrasi Riau. Didalam peta dengan jelas menggambarkan
Straat Berhala masuk kedalam wilayah residentie Jambi.
Belum lagi Peta
Belanda seperti Schetkaart Resintie Djambi Adatgemeenschappen (Marga’s), Tahun
1910, Skala 1:750.000, Schetskaart Van de Residentie Djambi, Tahun 1906, Skala
1 : 500.000, Schetskaart Van de Residentie Djambi, Bewerkt door het
Encyclopaedisch Bureau 1922 – 1923, Skala 1 : 750.000, Automobielkaart van Zuid
Sumatra Samengesteld en Uitgegeven door Koniklijke , Vereenging Java Motor
Club, Tahun 1929, Skala 1 : 1.500.000, Economical MAP of The island Of Sumatra,
Gold and silver, Tahun 1923, Skala 1 : 1.650.000, Verkeers en Overzichtskaart
van het eiland Sumatra, Tahun 1929, Skala 1.650.000, dan Kaart van het eiland
Sumatra, Tahun 1909, Skala 1 : 2.000.000, Aangevende de ligging Der
Erfachtsperceelen en Landbrouwconcessies Of Sumatra, Tahun 1914, Skala 1 :
2.000.000 telah jelas menerangkan posisi Pulau Berhala termasuk kedalam
Residentie. (Jambi Ekspress, 26-27 Februari 2012 dan Jambi Ekspress, 5 Maret
2017).
Namun putusan
MK kemudian menyatakan hal sebaliknya. Selain pemilik tanah pernah mengajukan
sertifikat Hak Milik kepada Kabupaten Lingga juga pembangunan fisik lebih
intensif dilakukan oleh Kabupaten Lingga.
Dengan
mengajukan sertifikat Hak Milik Tanah (SHM) kepada Kabupaten Lingga dan
kemudian “pembangunan fisik oleh Kabupaten Lingga” maka menjadi pertimbangan
bagi MK, Kabupaten Lingga lebih tepat memiliki Pulau Berhala dibandingkan
dengan Kabupaten Tanjung Jabung Timur.
Didalam asas konsensualitas biasa dikenal
sebagai “penundukan diri diam-diam (veronder
stelde). Dengan
“menundukkan diam-diam”, maka pemilik tanah mengakui Kabupaten Lingga sebagai
“penguasa” dan “pengurus” wilayah Pulau Berhala.
Sehingga MK
kemudian memutuskan UU Kabupaten Lingga lebih tepat memasukkan Pulau Berhala
dibandingkan dengan UU Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Dengan maka putusan MK
bersifat final dan mengikat.
Maka “merebut
Pulau Berhala” adalah utopia. Mimpi disiang bolong. Atau dengan kata lain,
“merebut pulau Berhala” tidak dapat dilanjutkan dan haruslah dihentikan sebagai
program unggulan Zola/Fachori.
Utopia yang
lain berupa paparan Visi – Misi Gubernur/Wakil Gubernur Jambi 2016 – 2021.
Berdasarkan dokumen yang diserahkan kepada KPU Propinsi Jambi disebutkan “tutupan hutan masih 70% dari wilayah Jambi.
Pertanyaan mengganggu saya adalah ‘siapa yang
menyusun Visi – Misi Zola/Fachrori yang “menyebutkan “tutupan hutan masih 70%
dari wilayah Jambi”. Darimana sumbernya.
Dengan kalkulasi luas wilayah Jambi 4,8 juta
hektar dikalkulasikan 70% wilayah Jambi, maka menurut dokumen Visi-Misi
Gubernur/Wakil Gubernur Jambi, maka tutupan hutan Jambi “masih” 3,6 juta
hektar. Angka ini sungguh “menggelikan” apabila tidak dikatakan “mengerikan”
ataupun “memalukan”.
Padahal berbagai data sudah menunjukkkan Laju
kerusakan hutan (deforestrasi) menyebabkan luas lahan kritis di Provinsi
Jambi pada tahun 2007 yaitu 618.891 ha (kritis 614.117 ha dan sangat kritis
4.774 ha). Pada tahun 2011 luas lahan kritis meningkat menjadi 1.420.602 ha
(kritis 341.685 ha dan sangat kritis 1.078.917 ha).
Penurunan luasan tutupan lahan hutan Jambi selama kurun waktu 10 tahun berkurang sebesar 1 juta hektar. Dari 2,4 juta hektar pada tahun 1990 menjadi 1,4
juta hektar pada tahun 2000 atau sebesar 29,66 persen dari total luas wilayah
Jambi. Pengurangan tutupan lahan hutan ini terjadi di dataran rendah dan
pegunungan, yaitu 435 ribu hektar. Sisanya terjadi di lahan rawa gambut.
Belum lagi kawasan
hutan sekitar 40 % dari wilayah Propinsi Jambi ternyata tidak diimbangi dengan
pemberian izin kepada masyarakat. Masyarakat yang telah berada dan sekitar
hutan ternyata mengalami persoalan terhadap “ruang kelola rakyat”.
Dengan penghitungan sederhana, maka “sebenarnya” tutupan hutan di Jambi
tinggal 800 ribu hektar. Itupun termasuk didalam kawasan Taman Nasional.
Dengan demikian maka paradigma “tutupan hutan 70% wilayah Jambi” merupakan
“ilusi” sebelum reformasi. Ataupun “mimpi” yang belum terbangun disaat kondisi
sekarang.
Sehingga tidak salah kemudian “Merebut pulau
Berhala” dan “tutupan hutan 70% dari wilayah Jambi” adalah Zola/Fachrori
sebagai Politisi.
Sebagai
Gubernur, penghormatan kepada Gubernur ditandai sebagai “Raja”. Makna ini
sering disebutkan didalam Seloko Jambi ““Alam sekato Rajo,
Negeri sekato Bathin. Atau Alam berajo, rantau bejenang, kampung betuo, negeri
bernenek mamak. Atau “Luak Sekato Penghulu, Kampung Sekato Tuo, Alam sekato
Rajo, Rantau Sekato Jenang, Negeri sekato nenek moyang.
Perumpamaan
Raja seperti Pohon Beringin. Yang ditandai dengan seloko “Pohon gedang di tengah dusun. pohonnya
rindang. Akar tempat besilo. Dan Dihormati “didahulukan selangkah. Dilebihkan sekato.
Atau
“tempat pegi betanyo. Tempat balek
becerito”. Yang berhak untuk memutih menghitamkam, Yang
memakan habis, memancung putus, dipapan jangan berentak, diduri jangan
menginjek.
Namun diskusi lebih hangat apabila dikemas
dengan gaya entertainment. Saya kemudian lebih tepat melambangkan Pilkada Idol.
Sehingga pemenang Pilkada adalah pemenang Idol. Dan kemudian sebagai pemenang
Idol maka Zola lebih menarik dilihat sebagai gaya entertainment. Sebagai
pemimpin Idol.
Sebagai hiburan ditengah “kesumpekkan”
suasana politik, maka lebih menghibur suasana politik dengna melihat suasana “berselfie
ria” dibandingkan angka-angka atau data-data yang membuat kepala berdenyut.