Didalam peta Pemerintah
Belanda tahun 1923 “Schetskaart Residentie Djambi Adatgemeenschappen
(Marga's) schaal 1 : 750.000, dikenal Batin IX Ulu. Berpusat di Pulau
Rengas.
Hukum adalah norma, aturan yang bertujuan menciptakan keadilan. Hukum adalah jiwa yang bisa dirasakan makna keadilan. Makna keadilan adalah jiwa yang senantiasa hidup dan berkembang.. Dari sudut pandang ini, catatan ini disampaikan. Melihat kegelisahan dari relung hati yang teraniaya..
20 Agustus 2017
19 Agustus 2017
opini musri nauli : IZIN LINGKUNGAN SEKTOR SAWIT
Akhir-akhir
ini, issu izin lingkungan hidup menarik perhatian public disaat menyaksikan
“drama kolosal” PT. Semen Indonesia (kasus Rembang). Publik dikejutkan dengan Gubernur Jawa Tengah kemudian
harus melakukan “mencabut” izin lingkungan kepada PT. Semen Indonesia di
Rembang. Namun tidak berselang waktu begitu lama, Gubernur Jawa Tengah kemudian
menerbitkan izin lingkungan (dengan perbaikan varian tertentu. Seperti luas
areal, perubahan nama perusahaan).
Sikap yang diambil Gubernur
Jawa Tengah menggambarkan “perilaku” sebagian elite dan kalangan hukum yang
masih memandang sebelah mata tentang “izin lingkungan”.
Pandangan dan perilaku ini
selain masih banyak berbagai pihak yang masih berparadigma memandang “remeh”
izin lingkungan juga tema “izin lingkungan” belum menjadi wacana mainstream
didalam pengelolaan Sumber daya alam.
Padahal UU No. 32 Tahun 2009 ditempatkan
sebagai UU Payung (umbrella act, umbrella provision, raamwet,
modewet)[1].
Makna pasal 44
dan penjelasan umum angka (5) UU No. 32 Tahun 2009 telah menegaskan. Sehingga
seluruh UU yang berkaitan dengan sumber daya alam kemudian harus memperhatikan
ketentuan didalam UU No. 32 Tahun 2009. Makna ini kemudian dipertegas dengan
menggunakan istilah “Ketentuan Lingkungan
Hidup strategis” didalam UU No. 32 Tahun 2009.
Dalam konteks UU No. 32 Tahun 2009[2][1], Izin
lingkungan kemudian diberikan makna untuk “mencegah
bahaya bagi lingkungan”. Dalam pasal
1 angka (35) UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup (UU Lingkungan Hidup) kemudian dipertegas didalam pasal 1 angka (1) PP
No. 27 Tahun 2012 Tentang Izin Lingkungan disebutkan “izin lingkungan adalah izin yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan
yang wajib amdal atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup sebagai prasyarat untuk memperoleh izin usaha dan/atau
kegiatan.
Sehingga setiap usaha/kegiatan yang
berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki amdal (Pasal 22,
Pasal 36 ayat (1) UU Lingkungan Hidup dan pasal 2 ayat (1), pasal 3 ayat
(1) PP No. 27 Tahun 2012).
Dengan
dokumen amdal maka kemudian ditetapkan keputusan kelayakan lingkungan hidup (Pasal 24 UU Lingkungan Hidup). Izin
lingkungan merupakan persyaratan untuk memperoleh izin usaha/kegiatan (pasal 40
UU Lingkungan Hidup).
Izin
lingkungan dapat dibatalkan oleh Menteri/Gubenur/Bupati/Walikota (pasal 37 ayat 2 UU Lingkungan Hidup).
Bahkan PTUN dapat membatalkan izin lingkungan hidup (Pasal 38 UU Lingkungan Hidup). Sehingga dengan dibatalkan izin
lingkungan, maka izin usaha/kegiatan dibatalkan (Pasal 40 ayat (2) UU Lingkungan Hidup).
Izin
lingkungan juga digunakan selain “mencegah
bahaya bagi lingkungan” maka harus sesuai dengan Ketentuan Lingkungan Hidup
Strategis (KLHS sebagaimana diatur
didalam pasal 15 UU LIngkungan Hidup) selain juga memperhatikan “daya
dukung dan daya tampung (Pasal 8 UU
Lingkungan Hidup).
Dengan
memperhatikan “rambu-rambu” yang
sudah disusun oleh UU Lingkungan Hidup dan PP No. 27 Tahun 2012 maka “izin
lingkungan” merupakan keharusan mutlak yang dijadikan dasar untuk melakukan
aktivitas perusahaan.
Problema
mulai timbul disaat bersamaan berbagai peraturan sektoral kemudian belum
merujuk kepada UU No. 32 Tahun 2009.
Di
sector sawit, berbagai peraturan masih menempatkan “amdal/UKL/UPL” yang
dipandang sebagai bentuk “izin lingkungan”.
Peraturan
Menteri Pertanian No. 6 Tahun 2007 (Permentan No. 6 Tahun 2007) yang kemudian
diperbaharui Peraturan Menteri Pertanian No. 98 tahun 2013 (Permentan No. 98
Tahun 2013) tidak memasukkan persyaratan izin lingkungan untuk mendapatkan IUP
(Izin Usaha Perkebunan).
Didalam
Pasal 15 Permentan No. 6 Tahun 2007 tidak tercantum sama sekali “izin lingkungan” sebagai persyaratan
untuk mendapatkan Izin Usaha Perkebunan.
OK. Permentan
No. 6 Tahun 2007 yang mengikuti alur pemikiran UU No. 23 Tahun 1997 masih
merujuk kepada UU sebelum UU No. 32 Tahun 2009 yakni UU No. 23 Tahun 1997 (alur
pemikiran UU No. 23 Tahun 1997) dimana masih menggunakan mekanisme “Amdal/UKL/UPL”
sebagai izin untuk berkegiatan yang berdampak kepada lingkungan.
Namun
sejak terbitnya UU No. 32 Tahun 2009 yang menjadi UU Payung (umbrella act, umbrella provision, raamwet, modewet) didalam
pengelolaan sumber daya alam, maka segala kegiatan/aktivitas haruslah
menggunakan mekanisme “izin lingkungan”.
“Maqom”
izin Lingkungan sebagai pondasi penting didalam pengelolaan sumber daya ala
kemudian diwujudkan didalam Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2012 (PP No. 27
Tahun 2012).
Sebagai
terjemahan pasal 36 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2009, maka izin lingkungan kemudian
diturunkan dan ditetapkan PP No. 27 Tahun 2012 telah ditegaskan
didalam pasal 2 ayat (2) PP No. 27 Tahun 2012. Didalam pasal 2 ayat (1) PP No. 27 Tahun 2012
ditegaskan “Setiap Usaha dan/atau Kegiatan yang wajib memiliki Amdal
atau UKL-UPL wajib memiliki Izin Lingkungan.
Dengan demikian maka setiap kegiatan selain memiliki
“amdal/UKL/UPL” juga menggunakan mekanisme “izin lingkungan”. Sehingga kalimat
pasal 36 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2009 junto Pasal 2 ayat (2) PP No. 27 Tahun
2012 adalah satu kesatuan. Tidak terpisahkan. Atau dengan gaya khas anak muda.
“satu tarikan nafas”.
Sehingga
ketika terbitnya Permentan
No. 98 Tahun 2013 yang merujuk kepada UU No. 32 Tahun 2009 dan PP No. 27 Tahun
2012 kemudian “memasukkan” izin lingkungan sebagai persyaratan mendapatkan Izin
Usaha Perkebuna (IUP).
Dengan
demikian maka walaupun UU Perkebunan (UU
No. 18 Tahun 2004, UU No. 39 Tahun 2014)
tidak memasukkan “izin lingkungan” sebagai persyaratan di sector perkebunan
namun sejak lahirnya UU No. 32 Tahun 2009 yang secara tegas memasukkan “izin
lingkungan” sebagai persyaratan pengelolaan sumber daya alam, maka “izin
lingkungan” adalah keharusan”. Mekanisme ini dikenal sebagai asas “lex
specialis derogate lex generalis”. Aturan khusus diperlakukan daripada aturan
umum. Sehingga sejak terbitnya UU No. 32
tahun 2009 tanggal 3 Oktober 2009 maka setiap kegiatan harus memiliki izin
lingkungan.
Problema
hukum
Bagaimana
terhadap aktivitas/kegiatan yang dilakukan telah memiliki Amdal/UKL/UPL namun
belum memiliki izin lingkungan sebelum tanggal 3 Oktober 2009 (sebelum lahirnya
UU No. 32 Tahun 2009) ?
Mekanisme
ini telah diatur didalam UU No. 32 Tahun 2009. Mekanisme pertama diatur didalam
pasal 121 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2009. Dijelaskan “Pada saat berlakunya
Undang-Undang ini, dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun, setiap usaha dan/atau
kegiatan yang telah memiliki izin usaha dan/atau kegiatan tetapi belum memiliki
dokumen amdal wajib menyelesaikan audit lingkungan hidup.
Mekanisme
kedua diatur didalam 121 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2009 “Pada saat berlakunya
Undang-Undang ini, dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun, setiap usaha dan/atau
kegiatan yang telah memiliki izin usaha dan/atau kegiatan tetapi belum memiliki
UKL-UPL wajib membuat dokumen pengelolaan lingkungan hidup.
Sedangkan
mekanisme ketiga dilakukan berdasarkan pasal 123 UU No. 32 Tahun 2009 “Segala izin di bidang
pengelolaan lingkungan hidup yang telah dikeluarkan oleh Menteri, gubernur,
atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib diintegrasikan ke dalam
izin lingkungan paling lama 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini ditetapkan.
Sehingga
paling lama setahun atau dua tahun setiap badan usaha wajib memiliki izin
lingkungan. Dapat dipastikan sejak tahun 2010-2011, setiap badan usaha yang
menjalankan kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan mempunyai konsekwensi
hukum.
Terhadap
pelanggaran dapat ditemukan didalam pasal 109 UU No. 32 Tahun 2009 “Setiap orang yang
melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat
1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00
(tiga miliar rupiah).
Dengan adanya “izin lingkungan” maka terhadap
pengelolaan lingkungan dapat memberikan hak kepada masyarakat secara luas. Hak
mendasar sebagaimana diatur didalam 65 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2009 “Setiap orang berhak atas
lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia.
Baca : REZIM IZIN LINGKUNGAN
16 Agustus 2017
Merasa difitnah, Ketua DPRD ini polisikan Rekannya di Dewan
TRIBUNJAMBI.COM, BANGKO – Ketua DPRD Merangin Zaidan Ismail melaporkan rekannya sesama anggota dewan ke polisi. Politisi PDIP itu datang melapor ke Mapolres Merangin, Rabu (16/8) sekitar pukul 17.00 WIb, atas dugaan pencemaran nama baik.
Ditemui sejumlah wartawan usai melapor, Zaidan engan menyebutkan siapa yang dilaporkannya. Dia juga tak menyebutkan secara rinci materi laporannya.
“Ya, ini saya baru selesai diperiksa. Laporan soal pencemaran nama baik,” katanya.
Berdasarkan informasi yang didapatkan yang dilaporkan Zaidan adalah salah seorang pimpinan dewan berinisial FY.
Senada juga dibenarkan oleh pengacaranya, Musri Nauli bahwa kliennya melaporkan salah seorang anggota dewan Meragin dengan dugaan fitnah. Dimana terlapor melakukan didepan umum, tepatnya di kantin DPRD Merangin.
“Kita laporkan karena terlapor melakukan pencemaran nama baik terhadap ketua DPRD, dalam hukum namanya fitnah. Mengenai materi biarlah penegak hukum yang akan menjelaskan,” sebutnya
Tribunjambi.com, 16 Agustus 2017
14 Agustus 2017
opini musri nauli : Biodiversity gambut
Akhir-akhirnya
issu gambut mulai memantik diskusi kalangan kampus, akademisi, praktisi hukum, Pemerintah,
LSM dan masyarakat. Kebakaran massif sejak tahun 2006 (Walhi 2012) dan kemudian
“meledak” tahun 2013, 2015 dan 2016 membuat dunia terhenyak melihat gambut.
Pemerintah Jokowi “gagap” dan kewalahan menghadapi kebakaran.
11 Agustus 2017
opini musri nauli : NYONYA MENEER DAN ETNOFARMASI
Berita
tentang bangkrutnya perusahaan PT. Nyonya Meneer menyentak public setelah
Putusan Pengadilan Negeri Semarang menyatakannya.
Yang
menarik dengan rentang berdiri sejak tahun 1919, PT Nyonya Meneer dikenal
sebagai perusahaan yang bergerak di bidang industry jamu yang didirikan oleh
Lauw Ping Nio alias Nyonya Meneer. Dengan usia yang panjang, Nyonya Meneer
berhasil mewarnai pengetahuan masyarakat tentang Jamu. Sehingga tidak salah
kemudian PT. Nyonya Meneer memiliki asset mencapai 16 trilyun dan karyawan
mencapai 1.100 orang.
10 Agustus 2017
ANAK BANDEL
Saya mengagumi sianak "bandel", begitu saya menyebutnya sejak menjadi anak saya waktu dikampus dulu.
Tahu-tahu kemaren sore, dia muncul dikediaman saya, saya yang lagi istirahat karena agak kecapean, dengan agak malas membuka pintu, ternyata yang muncul sianak bandel itu.
Melihat tampangnya saya jadi bersemangat, langsung saya persilahkan duduk.
Saya tidak membuang waktu, langsung saya lepas umpan untuk memancing seberapa dalam ilmu yang sudah dimiikinya.
Kami terlibat diskusi yang hangat. Selesai diskusi, dia menyerahkan sebuah karya tulisnya (buku) dgn judul: "WAJAH HTI", lantas pergi.
Sesuai kebiasaan saya, buku tsb. langsung saya baca dan barusan selesai.
Akhirnya saya meyakini thesis yang saya yakini selama ini, bahwa "KADAR INTELEKTUALITAS SESEORANG, TIDAK DITENTUKAN OLEH SEBERAPA TINGGI PENDIDIKAN FORMAL YANG SUDAH DITEMPUHNYA, TETAPI DITENTUKAN OLEH SEBERAPA BANYAK ILMU YG SUDAH DIGALI DAN DISERAPNYA, BAIK MELALUI LITERATUR, MAUPUN MELALUI ALAM SEKITARNYA. SEBALIKNYA SUDAH SEBERAPA BANYAK PULA ILMU YG DIMILIKI ITU DIKEMBALIKAN KEPADA MASYARAKAT, BAIK MELALUI KARYA NYATA, MAUPUN MELALUI KARYA TULS".
Anak bandel yang satu ini mungkin memiliki sesuatu, yg tidak dimiliki anak-anak lain, yaitu:" API YANG SELALU MEMBARA DIHATINYA, YANG SIAP MEMBAKAR KETIDAK ADILAN YANG TERJADI DALAM MASYARAKAT.
Saya sangat merindukan anak-anak muda seperti ini.
Baca : Hadiah 20 Tahun
09 Agustus 2017
opini musri nauli : Silang sengkarut Peraturan Gambut
Memasuki
musim panas, ingatan kolektif rakyat di 5 Propinsi (Riau, Jambi, Sumsel,
Kalbar, Kalteng) mulai mengancam.
08 Agustus 2017
opini musri nauli : Hadiah 20 Tahun
20
tahun yang lalu, saya menyelesaikan “kuliah” mahasiswa paling lama dengan
mengikuti ujian akhir. Mengikuti sidang Skripsi. Sebuah tugas akhir yang
dilakukan mahasiswa akhir angkatan 90 Fakultas Hukum UNJA.
Sebagai
mahasiswa paling akhir angkatan 90, ujian Skripsi “lebih terkesan” mengusir
mahasiswa sebelum jatah kuliah habis. Atau bisa “diusir” dan gagal menjadi
alumni.
30 Juli 2017
Musri Nauli : Repot Nanti Jika Pejabat Tidak Berpengalaman dan Paham dibidangnya
Hasil 3 besar Lelang Jabatan yang dalam prosesnya diduga oleh Aliansi Masyarakat Peduli Jambi Tuntas (AMPJT) banyak ditemukan pelanggaran, tampaknya mendapat perhatian khusus dari berbagai kalangan. Diantaranya Praktisi Hukum Jambi Musri Nauli.
Menurut Musri saat dihubungi kajanglakonews.com, Minggu (30/07), seleksi lelang jabatan ini kita kembalikan pada aturan yang ada. Baik itu aturan ASN maupun peraturan yang dikeluarkan oleh kementrian yang bersangkutan.
“Kan sudah jelas aturan mainnya, ya sudah Pansel ikuti saja itu, ungkap Musri.
Sementara itu terkait dengan persyaratan Administrasi yang heboh dipersoalkan belakangan ini,
Musri mengakui seyogyanya calon pejabat yang akan menduduki jabatan harus berpengalaman dan paham sesuai dengan bidang yang dilamar.
“Provinsi inikan sifatnya Koordinasi, repot nanti jika pejabat setingkat Kepala Dinas tidak paham dan berpengalaman dibidangnya, jelas Musri dengan nada tegas. (Mdn)
http://kajanglakonews.com/2017/07/30/musri-nauli-repot-nanti-jika-pejabat-kadis-tidak-beberpengalaman-dan-paham-dibidangnya/
opini musri nauli : BANJIR MENGINTAI PENDUDUK JAMBI
Memasuki
Bulan Februari 2017, Jambi kemudian “dihadiahkan” berita tentang banjir yang
menggenangi hampir seluruh wilayah di Jambi. Berbagai berita kemudian “muara”
dari akibat salah urus Negara didalam menata sumber daya alamnya.
Dengan luas 2,1 juta hektar
kawasan hutan namun laju (deforestrasi)
menyebabkan luas lahan kritis di Provinsi Jambi pada tahun 2007 yaitu
618.891 ha (kritis 614.117 ha dan sangat kritis 4.774 ha). Pada tahun
2011 luas lahan kritis meningkat menjadi 1.420.602 ha (kritis 341.685 ha dan
sangat kritis 1.078.917 ha)[1].
Langganan:
Postingan (Atom)