KETIKA lahir Pengadilan Tata Usaha Negara berdasarkan UU No 8 Tahun 1986, maka Indonesia kemudian dikenal sebagai negara hukum. Dimana putusan pejabat negara dapat dipersoalkan secara hukum dimuka pengadilan (hukum).
Hukum adalah norma, aturan yang bertujuan menciptakan keadilan. Hukum adalah jiwa yang bisa dirasakan makna keadilan. Makna keadilan adalah jiwa yang senantiasa hidup dan berkembang.. Dari sudut pandang ini, catatan ini disampaikan. Melihat kegelisahan dari relung hati yang teraniaya..
KETIKA lahir Pengadilan Tata Usaha Negara berdasarkan UU No 8 Tahun 1986, maka Indonesia kemudian dikenal sebagai negara hukum. Dimana putusan pejabat negara dapat dipersoalkan secara hukum dimuka pengadilan (hukum).
“Yah, ayah jadi Direktur, ya”, kata si Bungsu diujung telephone. Terdengar suara berderai.
“Yah, dek”, kataku sembari menahan tawa. Panggilan “adek’ kami lekatkan kepada sibungsu. Seluruh keluarga memanggil sibungsu dengan panggilan “Adek”.
Teringat percakapan ketika si bungsu menelephoneku disaat aku masih diluar kota. Saya kemudian tidak membayangkan “suasana” dirumah. Selain mobilitas “urusan” yang masih ribet, suasana di Jambi tidak kurasakan langsung.
Akhir-akhir ini, Pilkada Jambi 2020 tidak dapat dilepaskan dari kampanye yang berapi-api. Entah dengan semangat “program lahan tidur”, “menyelesaikan persoalan tambang”, “membangun jalan”, perhatian dengan “pertanian” atau issu-issu aktual lainnya.
Sebagai gagasan, cita-cita, program ataupun “mimpi” membenahi Jambi, berbagai issu aktual pasti menarik perhatian orang.
Membicarakan sumber daya alam di Jambi tidak dapat dilepaskan dari akibat pengelolaan sumber daya.
Namun disisi lain, persoalan pengelolaan sumberdaya alam tidak dapat dilepaskan dari konflik.
Akhir-akhir ini, saya lebih suka menggunakan ikat kepala. Kadangkala memakai lacak, blangkon atau udeng. Lacak nama resmi ikat kepala yang kemudian disepakati tokoh budayawan Jambi sejak tahun 1983.
Nama Lacak popular kembali ketika Gubernur Jambi Zumi Zola mengenakannya. Bahkan ditetapkan menjadi pakaian resmi di instansi Pemerintah.
Walaupun didaerah Timur Jambi seperti di Sabak dan Tungkal dikenal Tanjak, namun ketika pertemuan besar budayawan 1983, nama untuk ikat kepala di Jambi kemudian disepakati Lacak.
Tanjak dikenal didaerah pantai timur Sumatera. Seperti di Riau dan beberapa kabupaten yang termasuk Provinsi Riau dan Kepri.
Sedangkan Blangkon adalah ikat kepala masyarakat Jawa. Udeng dikenal di masyarakat Sunda dan Jawa Barat.
Wahai Umar, Sungguh mulia hidupmu.
Engkau dikeliling orang banyak.
Tidak. Sahabatku adalah orang yang datang ketika aku sakit
(Umar bin Khattab)
Setelah seharian bertemu dengan teman yang sudah lama tidak ketemu, kembali ke kantor dan berencana istirahat sejenak, tiba-tiba telephone masuk.
“Bang, tolong kirimi ramuan daun sungkai ke Ibu Masnah. Titip salam. Semoga cepat sembuh”, kata telephone diujung seberang
“Siap, Pak Bupati”, kataku terbangun. Panggilan Pak Bupati sering kusampaikan sebagai panggilan akrab. Sekaligus juga tanda pergaulan.
Terbayang “rasa persahabatan” yang tulus dari Bupati Merangin ketika mendengar kabar Covid yang diderita sahabatnya.
Kisah dimalam hari bercerita di sebuah sekretariat organisasi kepemudaan membuat saya tercenung. Cerita dari mereka membuat saya merenung.
Kata-kata “dusun”, “anak dusun”, “orang dusun” atau orang kita terus mewarnai pembicaraan.
Didalam berorganisasi, tidak dapat disangkal, cita-cita, harapan, keinginan yang disampaikan para kandidat ditunggu para anggota. Dalam istilah keren disebut “mimpi” dari pemimpin untuk mengurusi organisasi.
Ada yang berapi-api bermimpi “punya sekretariat”. Ada yang berambisi “punya kantor”. Ada yang mengajak orang memilih dengan “kebersamaan”. Ada yang mengajak “memilih dengan hati Nurani”.
Sebagai slogan sih, ok-ok saja. Dan itu sah untuk meraih dukungan dari anggota.
Namun ketika kandidat yang diusungnya cuma “berpolesan” wajah, isi otak yang tidak muncer, naik kendaraan mewah ditengah anggota sudah beberapa kali terbukti.
Belum beranjak dari tempat tidur di pagi hari, saya kemudian membuka internet. Browsing internet. Sekaligus membaca status teman-teman didunia maya.
Alangkah kagetnya ketika saya membaca status beberapa teman jurnalis yang saya kenal. Keluhan tentang “media yang diatur”. Demikian kesan beberapa status FB.
Tersentak. Sayapun kemudian menghubungi tim internal, memastikan beberapa sumber yang kredibel, menghubungi beberapa narasumber yang terpercaya.
Pelan kemudian saya telusuri. Satu persatu. Persis menguraikan benang kusut. Kemudian menyusunnya kembali. Seperti menyusun puzzle.
Syukurlah. Dari tim internal Media publikasi dan Opini Al Haris – Sani tidak melakukan perbuatan yang “tercela”.
Akhir-akhir ini tidak dapat dipungkiri, gegap gempita politik saling bersilewaran didunia maya. Berbagai pemikiran terus lahir untuk melihat berbagai peristiwa politik dari berbagai sudut.
Sebagai Pendidikan politik kepada rakyat, opini merupakan ranah yang mewarnai dinamika pemikiran. Opini diharapkan dapat menggambarkan para penulis opini untuk menyampaikan gagasan.
Namun kegelisahan penulis melihat fenomena ini harus dilihat dan ditempatkan sebagaiman mestinya. Sehingga public mendapatkan kesempatan utuh melihat berbagai peristiwa lebih jernih.
Berbagai catatan kecil akan membantu untuk melihat persoalan ini lebih obyektif.