Selain emas sebagai ukuran didalam melihat penghitungan di Jambi, kerbau juga dikenal didalam masyarakat Melayu Jambi.
Hukum adalah norma, aturan yang bertujuan menciptakan keadilan. Hukum adalah jiwa yang bisa dirasakan makna keadilan. Makna keadilan adalah jiwa yang senantiasa hidup dan berkembang.. Dari sudut pandang ini, catatan ini disampaikan. Melihat kegelisahan dari relung hati yang teraniaya..
Selain emas sebagai ukuran didalam melihat penghitungan di Jambi, kerbau juga dikenal didalam masyarakat Melayu Jambi.
Ketika Al Haris mendatangi Lubuk Mandarsyah kemudian disusul oleh Abdullah Sani didalam perjalanan politik (roadshow) maka tempat ini menjadi begitu bermakna.
Menyebut kata “Lubuk Mandarsyah” tidak dapat dilepaskan dari keberadaan Masyarakat Hukum Adat di dalam Margo Petadjin Ilir (baca Petajin Ilir).
Desa Lubuk Mandarsyah adalah desa tua. Diperkirakan sudah ada sejak tahun 1406 yang ditandai dengan kehidupan di wilayah ini. Dahulu kala, lokasi ini dikenal dengan nama-nama “pengambiran’, kemudian dusun “Sabun” hingga “Pelayang Tebat”.
Mengenal Lubuk Mandarsyah dapat dilekatkan didalam Marga Petajin Ilir. Marga Petajin Ilir terdiri dari Dusun Lubuk Mandarsyah, Dusun Muara Kilis, Dusun Mangupeh, Dusun Rantau Api, Dusun Kunangan. Masing-masing dipimpin oleh seorang Mangku.
Dusun-dusun disekitar Sungai Bengkal yaitu Dusun Sungai Bengkal, Dusun Muara Ketalo, Dusun Teluk Rendah, Dusun Tuo, Dusun Peninjauan, Dusun Kembang Seri. Masing-masing dusun dipimpin seorang Ngebi.
Akhir-akhir ini tema emas menarik perhatian publik. Pemberitaan tentang harga emas menjadi konsumsi sehari-hari.
Namun yang menarik adalah ukuran yang sering disampaikan. Misalnya ukuran harga pergram dan harga emas dan logam mulia.
Ketika Menteri KKP ditangkap beserta rombongan termasuk istrinya, maka seketika pertanyaan normatif kemudian muncul. Apakah kasus ini tepat disidangkan di Indonesia.
Perhatian penulis ketika pertanyaan umum diceletuk melihat rangkaian penangkapan.
AIR BERBAGI. BUKAN DIKUASAI
Kesaksian Supervisi Perusahaan Penyebab Kebakaran 2015
Musri Nauli
Didalam Peraturan Presiden yang memberikan mandat kepada BRG adalah melakukan supervisi dalam konstruksi, operasi dan pemeliharaan infrastruktur di lahan konsesi
Melihat begitu intens dan aktifnya perjalanan politik (roadshow) Al Haris ke Kecamatan VII Koto dan Kecamatan VII Ilir maka harus dilihat dari begitu pentingnya daerah ini.
Sebagaimana telah disampaikan, sebelum pemekaran Kecamatan VII Koto dan Kecamatan VII Ilir maka wilayah ini dikenal sebagai Marga VII Koto.
Cerita dan tutur Marga VII Koto dikenal di Marga Pemayung Ulu. Menurut tutur dan cerita masyarakat, Puyang masyarakat Marga Pemayung ulu berasal dari Marga VII Koto.
Untuk mematangkan persiapan perjalanan Al Haris, Al Haris kemudian menyempati mampir di Desa Balai Rajo dan Desa Pasir Mayang.
Ditengah masyarakat, nama tempat Balai Rajo dan Pasir Mayang begitu melekat. Sebagai nama tempat dalam ingatan (memorial collective), nama Pasir Mayang dan Balai Raja tidak terpisahkan masyarakat di daerah Tebo (Dulu dikenal sebagai Tebo Ulu).
Menurut penuturan ditengah masyarakat, Pasir Mayang atau Balai Rajo (dalam dialek sehari-hari sering disebut Bale Rajo) dikenal didalam wilayah Adat Marga VII Koto. Marga VII Koto dikenal sebagai tempat berkumpulnya “Debalang Rajo. Tempat untuk berkumpulnya dan menentukan rapat. Berpusat di Sungai Abang.
Pada prinsipnya, Hakim tidak boleh mengabulkan melebihi dari apa yang diminta para penggugat. Prinsip ini kemudian dikenal Utra petita.
Sebagai prinsip, ultra petita tidak dibenarkan. Selain akan merugikan tergugat, prinsipnya ini juga melambangkan prinsip hukum acara Perdata.
Didalam hukum acara perdata, hakim bersifat pasif. Hakim tidak dibenarkan untuk mengabulkan melebihi apa yang diminta oleh penggugat.
Prinsip ini sudah sering ditegaskan didalam berbagai putusan hakim (Yurisprudensi). Sebagai yurisprudensi yang sering disampaikan oleh Mahkamah Agung, maka yurisprudensi kemudian mengikat kepada hakim maupun para pencari keadilan.
Prinsip ultra petita juga menjadi dasar bagi tergugat untuk melaksanakan putusan hakim. Dan agar pihak tergugat walaupun dikalahkan oleh putusan hakim namun tergugat tidak dibebani kewajiban untuk melaksanakan putusan melebihi dari kewajibannya.
Masih ingat ketika protes dan gelombang penolakan terhadap RUU KPK dan terpilih paket pimpinan KPK setahun yang lalu.
Gelombang besar penolakkan kemudian diterima sebagai bagian kritik publik terhadap RUU KPK.
Sebagai Lembaga negara, KPK harus tetap dikritik. KPK harus independent. Demikian kesan yang kuat saat itu.
Belum usai pembahasan RUU KPK, terpilihnya pimpinan KPK diterima dengan apatis. Terlepas dari nama-nama yang menjadi pimpinan KPK, kesan publik mulai tidak respek lagi dengan KPK.
Namun seorang temanku berbisik. Dengan pelan dia berkata. “Tenang, ketua. Ada kak Lili. Dia komit, kok dengan agenda pemberantasan korupsi SDA”. Sembari menunjukkan berbagai agenda pertemuan dengan KPK.
“Tidak ketua. Saya mungkin menjadi masyarakat biasa saja. Mendukung KPK dengan cara saya”, kataku menghindar. Sembari menjadi masyarakat biasa tentu saja pandanganku tidak mewakili siapapun.
“Pergantian kekuasaan harus terjadi. Sekarang kita yang lagi leading. Masa mereka aja yang bisa berbicara dengan KPK”, katanya meneguhkan.
Mau perusahaan negara, mau swasta,
pokoknya yang merampas tanah rakyat,
berhadapan ama gue
(Nurhidayati, 2013)
Kata-kata bak “petir ditengah bolong”, kata-kata itu membungkam sekaligus telak. Sekaligus sikap dan pandangan yang tanpa kompromi.
Teringat kata-kata yang disampaikan ketika menjadi Kepala Departemen Advokasi Walhi 2012-2016. Dia Tangguh sekaligus tegas.
Kata-kata bak mantra sekaligus mengakhiri perdebatan tentang sikap perusahaan yang kemudian merampas tanah rakyat.