04 September 2025

Demonstrasi: Hak dan Waktu


Demonstrasi atau unjuk rasa adalah salah satu bentuk ekspresi kebebasan berpendapat yang fundamental dalam negara demokrasi. 

Di Indonesia hak ini dijamin dan dilindungi oleh konstitusi. Namun pelaksanaannya diatur oleh undang-undang untuk menjaga ketertiban dan keamanan publik. 

Demonstrasi adalah Hak yang Dijamin Konstitusi

Demonstrasi adalah hak konstitusional setiap warga negara. Hak ini secara eksplisit dijamin dalam Pasal 28E ayat (3) UUD berbunyi, "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat." Ketentuan ini menegaskan kebebasan berekspresi termasuk melalui unjuk rasa, adalah hak asasi yang tak dapat dicabut.

Jaminan konstitusional ini berfungsi sebagai landasan hukum utama yang memastikan negara tidak dapat secara sewenang-wenang melarang atau membatasi unjuk rasa. 

Tujuan dari jaminan ini adalah untuk membuka ruang bagi masyarakat sipil untuk mengkritik kebijakan pemerintah, menyuarakan aspirasi, dan berpartisipasi dalam proses politik.

Cara Membaca Protes: Ketika Negara Gagal Memahami Suara Rakyat


Akhir-akhir ini berbagai demonstrasi di Indonesia sering kali berakhir dengan kericuhan. Pemandangan ini seolah menjadi bukti negara gagal memahami esensi dari sebuah protes. 


Alih-alih mendengarkan suara yang disampaikan, protes-protes tersebut justru sering kali berakhir dengan tuduhan, tindakan represif, dan bahkan kekerasan. 


Kejengkelan yang Telah Lama Terpendam 


Kericuhan yang terjadi bukanlah fenomena instan, melainkan akumulasi dari kejengkelan rakyat yang telah lama terpendam.


Pemicunya beragam, terutama yang berkaitan dengan beban ekonomi dan kesejahteraan. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan realitas yang sulit bagi masyarakat. Tingkat pengangguran terbuka di Indonesia, misalnya, masih menjadi isu besar. Pada Februari 2024, BPS mencatat jumlah pengangguran terbuka mencapai sekitar 7.200.000 orang. Angka ini menggambarkan betapa sulitnya mencari pekerjaan, sementara peluang kerja terasa semakin sempit, terutama bagi angkatan muda. 


Sikap Elit yang Jauh dari Empati 


Di tengah kesulitan ini, masyarakat berharap adanya empati dan simpati dari para petinggi negara. Namun, respons yang ditunjukkan justru sering kali sebaliknya. 


Banyak pejabat yang justru menunjukkan sikap angkuh, seolah tidak tersentuh oleh penderitaan rakyat. 


Pernyataan-pernyataan yang meremehkan, bahkan menyalahkan, menambah luka di hati masyarakat. Alih-alih menjadi pelayan publik, mereka justru terlihat sebagai penguasa yang sibuk menjaga citra dan kekuasaan. 


Sikap abai ini semakin diperparah dengan berbagai kebijakan atau tindakan yang justru dianggap "meneror" rakyat kecil. Contoh yang paling nyata adalah praktik "dipalak" dengan dalih royalti musik, di mana seniman atau musisi jalanan diancam atau diminta membayar sejumlah uang secara sepihak. 

01 September 2025

opini musri nauli : Kritik terhadap Prioritas Negara

 



Slogan "hapus live tiktok bisa. Tapi hapus situs judol tidak bisa" adalah bentuk kritik sosial yang tajam, bukan sekadar perbandingan sederhana.


Slogan ini menggunakan sarkasme untuk menyoroti apa yang dianggap sebagai ketidakmampuan atau ketidakseriusan pemerintah dalam menangani masalah yang lebih besar dan merusak.


Pemberantasan yang mudah: "Hapus live TikTok bisa" mengacu pada cepatnya respons terhadap isu-isu yang dianggap sebagai masalah moral atau sosial yang relatif kecil dan mudah dijangkau, seperti konten di platform media sosial.


Pemberantasan yang sulit: "Tapi hapus situs judol tidak bisa" menyoroti kegagalan atau lambatnya penanganan terhadap kejahatan terorganisir yang jauh lebih merusak secara finansial dan sosial, yaitu judi online.

30 Agustus 2025

opini musri nauli : Amok Massa

 


Aksi massa, yang seringkali dipicu oleh kemarahan dan ketidakpuasan, dapat dianalisis menggunakan teori amok massa.


Konsep ini, yang secara etimologis berasal dari bahasa Melayu "amok", menggambarkan fenomena dimana individu atau kelompok tiba-tiba kehilangan kendali diri dan melakukan tindakan kekerasan secara acak.


Dalam konteks sosial yang lebih luas, amok massa dapat dipahami sebagai ledakan kemarahan kolektif yang dipicu oleh akumulasi frustrasi dan ketidakadilan.


Aspek Teori Amok Massa

21 Agustus 2025

opini musri nauli : Korupsi di Pilar Moral Bangsa

 


Ironi di Sektor Pendidikan dan Agama Korupsi di Indonesia telah menjadi masalah yang mengakar dan merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. 


Yang lebih memilukan, fenomena ini kini merambah ke dua sektor yang seharusnya menjadi penjaga moral dan etika bangsa: pendidikan dan agama. 


Kedua sektor ini seharusnya menjadi benteng terakhir yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dan keadilan, namun sayangnya, juga tak luput dari praktik-praktik tercela. 

Sebuah ironi yang memilukan. 


Pendidikan yang bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk karakter generasi muda, serta agama, yang seharusnya menjadi pedoman moral dan spiritual, justru menjadi ladang subur bagi tindak pidana korupsi. 

opini musri nauli : Simbolisme Tumbuhan Seloko Melayu Jambi


Seloko Melayu Jambi adalah perumpamaan atau peribahasa tradisional yang kaya akan makna filosofis dan moral. Salah satu tema yang dominan adalah penggunaan simbolisme tumbuhan yang mencerminkan pandangan mendalam masyarakat Melayu Jambi terhadap alam, kepemimpinan dan kehidupan sosial. 

Didalam  seloko tumbuhan menunjukkan untuk menyampaikan ajaran luhur dan nilai-nilai yang fundamental.


1. Kepemimpinan Sebagai Pohon Pelindung


Banyak seloko mengibaratkan pemimpin seperti pohon yang besar dan rindang, yang menunjukkan fungsinya sebagai pelindung dan pengayom. 


Seloko seperti “Pohon Beringin. Pohon Gedang ditengah dusun. Akarnya kuat tempat besilo. Dahannya kuat tempat begayut” menggambarkan seorang pemimpin yang memiliki kekuatan dan dapat diandalkan, menjadi tempat bersandar dan bernaung bagi masyarakat. 


Pemimpin juga diibaratkan sebagai pohon rindang yang akarnya tempat bersila, tempat berteduh dari panas dan hujan, serta tempat bertanya dan berbagi cerita. 

19 Agustus 2025

opini musri nauli : Zakat vs. Pajak




Akhir-akhir ini tema Zakat dan Pajak menghiasi wacana publik. Wacana ini kemudian memantik polemik. 


Seorang tokoh nasional yang mempunyai jabatan strategis entah mengapa mempunyai pemikiran menyamakan zakat dan pajak. 


Wacana ini kemudian menarik. Mari kita telusuri untuk melihat esensi dari zakat dan pajak. 


Meskipun sama-sama merupakan pungutan wajib yang bertujuan untuk kesejahteraan, zakat dan pajak memiliki perbedaan mendasar yang signifikan. Zakat adalah perintah agama.  Sementara pajak adalah kewajiban sipil. Memahami perbedaan keduanya penting untuk melihat peran masing-masing dalam kehidupan sosial dan ekonomi.


Istilah zakat dikenal di kalangan umat islam. Zakat bersumber dari wahyu Ilahi (Al-Qur'an dan As-Sunnah), menjadikannya sebuah ibadah yang memiliki dimensi spiritual. Kewajiban zakat bersifat tetap, abadi dan tidak bisa diubah oleh otoritas manusia. Dengan demikian maka zakat tidak diwajibkan diluar dari penduduk beragama Islam. 

17 Agustus 2025

opini musri nauli : Pahlawan Petani - Mengukir Kemerdekaan di Ladang Perjuangan


Hari Kemerdekaan Indonesia, yang diperingati setiap tahun, kembali mengingatkan kita pada makna kepahlawanan yang sesungguhnya. Momen bersejarah ini bukan hanya sekadar perayaan kemerdekaan, tetapi juga sebuah refleksi mendalam tentang pengorbanan, keberanian, dan dedikasi para pahlawan yang telah berjuang demi tegaknya bangsa.


Hari Kemerdekaan Indonesia yang diperingati setiap tahun, kembali mengingatkan kita pada makna kepahlawanan yang sesungguhnya. Momen bersejarah ini bukan hanya sekadar perayaan kemerdekaan. Tetapi juga sebuah refleksi mendalam tentang pengorbanan, keberanian, dan dedikasi para pahlawan yang telah berjuang demi tegaknya bangsa.


Pada dasarnya kepahlawanan tidak hanya terbatas pada medan perang atau pertumpahan darah. Jauh melampaui itu.  

opini musri nauli : Kunyit


Seloko "larik tepung. Larik kunyit. Larik seko" sebagai bagian dari "Tembo" atau narasi sejarah yang diikrarkan pada upacara adat seperti "kenduri sko". 


Tembo adalah catatan genealogi dan sejarah yang dipegang teguh oleh masyarakat adat. Dalam konteks ini, "larik kunyit" tidak dapat diartikan secara harfiah, melainkan sebagai sebuah simbol penanda batas wilayah yang sakral.


Seloko ini berdiri sejajar dengan ungkapan-ungkapan penanda batas lainnya seperti "Kayu pengait", "Sak sangkut", "takuk rajo", dan "Sialang belantak besi". 


Menunjukkan masyarakat adat Melayu Jambi memiliki sistem penandaan batas yang terstruktur dan berlapis, tidak hanya mengandalkan batas fisik, tetapi juga batas-batas simbolis yang diikrarkan secara kolektif. 

16 Agustus 2025

opini musri nauli : Malam Kemerdekaan: Api dan Logika di Jalan Pegangsaan Timur

 

15 Agustus 1945. Di sebuah ruangan di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta, nyala lampu minyak yang berkedip-kedip menyoroti wajah-wajah tegang para tokoh bangsa. Malam itu, berita menyerahnya Jepang telah menyebar, menciptakan kekosongan kekuasaan yang terasa mencekik. Pertanyaan krusial itu mengambang di udara: kapan dan bagaimana kita merdeka?

Sutan Sjahrir, seorang idealis muda dengan pandangan tajam, berdiri. Matanya memancarkan api revolusi. 

"Bung Karno, Bung Hatta! Kita tidak punya waktu! Jepang sudah menyerah. Kekuasaan itu kosong! Jika kita tidak segera mengisi kekosongan ini dengan proklamasi, Sekutu akan datang dan kemerdekaan kita akan dianggap sebagai hadiah dari mereka! Sejarah tidak akan mengampuni kita jika kita menyia-nyiakan momen ini!" suaranya bergetar penuh semangat.

Agus Salim, dengan janggut putihnya yang agung, menjawab dengan tenang. Ia mewakili kearifan yang mendalam. 

"Sjahrir, keberanian memang penting, tetapi kita tidak boleh gegabah. Kemerdekaan ini harus diakui dunia. Jika kita terburu-buru, kita akan terlihat seperti anak kecil yang mencuri mainan. Kita harus menggunakan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) sebagai alat diplomasi, sebagai jembatan untuk pengakuan internasional. Tanpa itu, kita hanya akan memancing perlawanan dari Sekutu yang lebih besar."

Kemudian, Tan Malaka bangkit. Ia adalah perwakilan dari golongan radikal. Dengan pandangan mata yang tajam dan sikap yang militan, ia menatap langsung ke arah Soekarno.