14 Agustus 2014

opini musri nauli : Ancaman Karst di Hulu Sungai Batanghari





Sebelum lahirnya UU No. 5 tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa, di daerah hulu[1] Sungai Batanghari[2], masyarakat mengenal Dusun sebagai pemerintahan terendah (village government). Dusun terdiri dari beberapa kampung. Mengepalai Kepala Dusun adalah Depati. Dibawah Depati adalah Mangku. Dusun-dusun kemudian menjadi Margo. Pembagian kekuasaan dalam negeri atau dusun di daerah hulu adalah bathin dengan gelar Rio, Rio Depati atau Depati, di daerah hilir penguasanya adalah Penghulu atau Mangku dibantu oleh seorang Menti (penyiar, tukang memberi pengumuman[3]

Sedangkan Margo[4] mencakup mencakup setiap Dusun yang terdiri dari Bathin. Mengepalai Margo biasa dikenal dengan nama Pesirah.[5] Dengan lahirnya UU No. 5 Tahun 1979, maka Dusun menjadi Desa sebagai pemerintahan terendah (village government). Sedangkan kampung menjadi dusun.

Masyarakat Melayu[6] Jambi termasuk kedalam termasuk rumpun kesukuan Melayu.[7] Secara fenomologis, Melayu merupakan sebuah entitas kultural (Malay/Malayness sebagai cultural termn/terminologi kebudayaan)[8]. Dilihat dari kategorinya, maka masyarakat Melayu Jambi dapat diklasifikasikan dalam Melayu tradisional. Menurut Yusmar Yusuf, kearifan dan tradisi Melayu ditandai dengan aktivitas di Kampung[9]. Kampung merupakan pusat ingatan (center of memory), sekaligus pusat suam (center of soul). Kampung menjadi pita perekam tradisi, kearifan lokal (local wisdom).[10]

Kawasan Bukit Bulan termasuk kedalam masyarakat hukum adat (rechtsgemeenshap) Bukit bulan. Terletak di Kabupaten Sarolangun. Dari ibukota Propinsi Jambi ke ibukota Sarolangun berjarak 180 arah selatan. Dari Ibukota Kabupaten ke kawasan Bukit Bulan dapat ditempuh 6 – 8 jam.

Kabupaten Sarolangun memiliki Luas Wilayah 6.174 Km2. Kabupaten Sarolangun terdiri dari 10 Kecamatan dan 144 Desa, dan memiliki jumlah populasi penduduk ±264.541 Jiwa.

Memiliki kawasan hutan seluas  252.377 hektar.
Tabel 1. Status Kawasan hutan di Kabupaten Sarolangun

NO
STATUS KAWASAN
LUAS
PRESENTASE
1
Hutan Produksi
99.851,00
39,56%
2
Hutan Produksi Terbatas
89.357,87
35,41%
3
Hutan Lindung
54.285,20
21,51%
4
Taman Nasional
8.810,00
3.49%
5
Cagar Alam
73,74
0,03%
Total
252.377,81
100.00%
Sumber : Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 421/Kpts-II/1999 tanggal 15 Juni 1999 tentang Peta Penunjukkan Kawasan Hutan dan Perairan Propinsi Jambi

Berdasarkan peta Pemerintah Belanda tahun 1923 “Schetskaart Residentie Djambi Adatgemeenschappen (Marga's) schaal 1 : 750.000, Bukit Bulan merupakan termasuk kedalam Margo Bukit Bulan yang pusat margo di Meriboeng. Margo Bukit Bulan berbatasan dengan Margo Batang Asai, Margo Bathin Pengambang dan Margo Cermin Nan Tiga.


Sebagai masyarakat hukum adat yang menjunjung nilai-nilai kebajikan yang ditandai dengan seloko[11] seperti “ke aik cemetik keno naik kedarat durian runtuh – dilaman rumah lemang tesanda – naik kerumah anak ado”[12], yang buto pengembus lesung – yang pekak pelepas bedil – yang lumpuh menunggu rumah – yang bisu menyimpan rasio”[13], alam sekato rajo- negeri sekato batin – luhak sekato penghulu – rantau sekato jenang – kampung sekato tuo – rumah sekato tenganai – anak berajo kebapak – kemenakan berajo kemamak – bini sekato laki“[14] atau seloko ”negeri bapaga adat - tepian bepaga baso, laman basapu undang – rumah baseko bamalu

Penghormatan terhadap daerah-daerah yang dijaga ditandai dengan berbagai seloko. Masyarakat hulu Sungai Batanghari mengenal daerah-daerah yang tidak boleh dibuka. Mereka mengenal dengan istilah Teluk sakti. Rantau betuah, Gunung Bedewo”. Di Daerah Sarolangun mereka mengenal Hulu Air/Kepala Sauk, Rimbo Puyang/Rimbo Keramat, Bukit Seruling/Bukit Tandus. Di Margo Sungai Tenang mereka mengenal Rimbo sunyi yang dikenal dengan seloko “Tempat siamang beruang putih. Tempat ungko berebut tangis. Sedangkan di Margo Sumay mereka mengenal dengan istilah hutan keramat seperti tanah sepenggal, Bulian bedarah, Bukit selasih dan Pasir Embun. Atau Sialang Pendulangan, Lupak Pendanauan, dan Guntung (tanah tinggi).

Rimbo ganuh atau rimbo sunyi atau hutan keramat merupakan daerah yang tidak boleh dibuka. Ujaran seperti Teluk sakti. Rantau betuah, Gunung Bedewo atau “Tempat siamang beruang putih. Tempat ungko berebut tangis” merupakan makna simbolik masyarakat terhadap daerah-daerah yang harus dilindungi.

Ter Haar sendiri menyebutkan adanya penghormatan tempat-tempat yang dilarang untuk dibuka. Yusmar Yusuf menyebutkannya “rimbo simpanan atau rimbo larangan[15]. Tideman melaporkan sebagai “rimbo gano[16]

Namun ancaman terhadap masyarakat di hulu Sungai Batanghari. Salah satunya dengan semakin gencarnya mempersiapkan kawasan ini sebagai lokasi tambang dan kawasan industri semen. Salah satunya PT. Semen Baturaja (Persero) Tbk (PT. SBR) di Sarolangun

Kawasan bukit karst yang terdiri dari beberapa bukit karst yaitu Bukit Bulan[17], Bukit Petak, Bukit Gedong, Bukit Tengah dan Bukit Mentang. Pembukaan areal tambang untuk produksi semen pada tahap awal ini akan dilakukan pada areal seluas 5.000 hektar yang mencakup lima desa: Napal Melintang, Mersip, Merbung, Berkun dan Renah Alai.

Kawasan Karst merupakan kawasan yang sangat mengagumkan dengan flowstone, goa sepanjang 1,5 km yang menghubungkan dusun Dalam dan dusun Duri, sungai bawah tanah, yang merupakan hulu sungai Batanghari. Dikelilingi hutan lindung rainforest dengan aneka satwa langka dan tumbuhan langka. Pembukaan kawasan Karst dapat merusak tatanan morfologi karst serta ekosistem yang terdapat di dalamnya.

Pembukaan karst yang merupakan bentangan alam karst yang berbukit-bukit yang merupakan hamparan Bukit Barisan Sumatera Bukit Bulan yang dilindungi pemerintah melalui peraturan pemerintah Nomor 6 Tahun 2008 sebagai kawasan geologi unik dan rentan akan terancam rusak.

Sementara itu, ada lebih dari 100 goa beraliran sungai bawah tanah aktif serta tujuh mata air untuk pengairan sawah dan keperluan rumah tangga. Padahal pemerintah kabupaten Sarolangun menetapkan Bukit Bulan sebagai kawasan hulu lindung yang hanya boleh untuk pertanian tradisional dan pariwisata alam. Tertuang dalam peraturan daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah tahun 2004 yang masih berlaku.

Penyelidikan geologi mengenai kawasan lindung karst ini sudah banyak dilakukan, termasuk badan geologi kementrian ESDM, akan tetapi era otonomi daerah yang berlaku di Indonesia saat ini, menjadikan pemerintah kabupaten setempat tidak memiliki visi yang sama tentang kelestarian kawasan karst kelas I dan kelas II ini, dan mereka sedang mempersiapkan skenario penghancuran kawasan dan ekosistemnya untuk industri semen.

Berdasarkan hasil overlay peta tematik komponen kars menghasilkan peta kelas kawasan kars, yaitu kawasan kars lindung geologi mempunyai jumlah (total) skor antara 79 hingga 141, dan kawasan kars budi daya mempunyai jumlah (total) skor antara 47 hingga 78.

Kondisi di lapangan kawasan kars lindung geologi memiliki keunikan bentang alam kars, sehingga arah pemanfaatannya sesuai untuk kegiatan geowisata. Sementara pada kawasan kars budi daya dapat dilakukan kegiatan penambangan setelah dilakukan studi geologi lingkungan detail untuk menentukan zona pemanfaatan lahan secara optimal

Dari kedua peraturan tersebut terdapat sinkronisasi yang dapat mengklasifikasikan kars ke dalam kawasan budi daya dan kawasan lindung geologi. Oleh karena itu diperlukan analisis penetapan kawasan kars agar pemanfaatannya optimal dan berwawasan lingkungan. Metode analisis menggunakan standar baku yang digunakan di Pusat Sumber Daya Air Tanah dan Geologi Lingkungan, sementara proses analisis menggunakan sistem informasi geografis (SIG) dengan cara pembobotan dan overlay.

Pemerintah Kabupaten Sarolangun dengan mudahnya melanggar regulasi di Indonesia dengan memberikan izin lokasi dan eksplorasi pertambangan kepada pelaku bisnis tersebut. Dan saat ini mereka terus melakukan konspirasi untuk meningkatkan izin menjadi tahap izin operasi produksi[18].

Izin Lokasi dan Eksplorasi PT. SBR Nomor 53 Tahun 2011 berada dalam kawasan atau kawasan karst dengan terdiri dari dari beberapa wilayah lokasi bukit karst Bukit Bulan, Bukit Petak, Bukit Gedong, Bukit Tengah dan Bukit Mentang, dan lokasi ini berada dalam kawasan hutan lindung.

Namun setelah keluar izin lokasi dan eksplorasi PT SBR apabila kita perhatikan didalam ketentuan pasal 50 dan pasal 53 Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 Tentang Tata Ruang Wilayah Nasional sangatlah bertentangan.

Izin lokasi dan eksplorasi PT SBR termasuk kedalam kawasan lindung geologi.

Didalam Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1456.K/20/MEM/2000 tentang pedoman pengelolaan kawasan kars yang bersifat operasional, menyatakan bahwa kawasan kars kelas I merupakan kawasan lindung sumber daya alam yang penetapannya mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dari kedua peraturan tersebut terdapat sinkronisasi yang dapat mengklasifikasikan kars ke dalam kawasan budi daya dan kawasan lindung geologi. Oleh karena itu diperlukan analisis penetapan kawasan kars agar pemanfaatannya optimal dan berwawasan lingkungan. Metode analisis menggunakan standar baku yang digunakan di Pusat Sumber Daya Air Tanah dan Geologi Lingkungan, sementara proses analisis menggunakan sistem informasi geografis (SIG) dengan cara pembobotan dan overlay.

Dengan demikian maka pemberian Izin Lokasi dan Eksplorasi PT. SBR Nomor 53 Tahun 2011 bertentangan dengan pasal 50 dan pasal 53 Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 Tentang Tata Ruang Wilayah Nasional dan KEPMEN ESDM No 1456.K./20/MEM/2000 dan juga PERMEN ESDM No 17 Tahun 2012, tentang penetapan kawasan bentang alam Karst

Bupati Sarolangun tidak mengindahkan aturan yang ada diatas tersebut dengan tetap memberikan dan mengeluarkan izin lokasi dan eksplorasi tambang semen di area karst.

Pemberian izin PT. SBR yang termasuk kedalam kawasan lindung geologi yang dekat pemukiman serta merupakan sumber kehidupan masyarakat di 7 Desa yang berada di hulu Sungai Batanghari.

Masyarakat kemudian menolak pemberian izin terhadap PT. SBR. Melalui perangkat desa, masyarakat kemudian menyurati berbagai pihak.

Seperti yang dialami masyarakat Desa Berkun Kecamatan Limun yang sejak setahun lalu mengajukan surat penolakan terhadap rencana izin.

Kepala Desa Berkun Paisal menyebutkan ada beberapa alasan mereka menolak kehadiran di desanya. Pasalnya sebelum areal rencana izin, areal tersebut merupakan hak kelola masyarakat sejak lama dan terdapat kebun-kebun karet milik mereka. “Disano, ado kebun-kebun karet kami, dan terdapat juga tanaman-tanaman buah serta kuburankuburan lamo tempat nenek bunyut kami,” sebutnya.

Dia juga menambahkan kehadiran tersebut juga berdampak buruk pada Hutan Adat Bathin Betuah seluas 98 hektar yang telah ditetapkan dalam SK Bupati Sarolangun Nomor 206 tahun 2010.

Hutan adat kami terancam, padahal keberadaan hutan adat ini untuk kepentingan masyarakat guna melinungi hulu air untuk irigasi areal sawah dan sumber air bersih”[19]

Di areal tersebut tercatat ada sebelas hutan adat yang sudah diakui pemerintah, yakni hutan adat Pengulu Laleh (128 ha), hutan adat Rio Peniti (313 ha), hutan adat Pengulu Patwa (295 ha), hutan adat Pengulu Sati (100 ha), hutan adat Rimbo Larangan (18 ha), hutan adat Bhatin Batuah (98 ha), hutan adat Paduka Rajo (80 ha), hutan adat Datuk Menti Sati (78 ha), hutan adat Datuk Menti (48 ha), hutan adat Imbo Pseko (140 ha), dan hutan adat Imbo Lembago (70 ha)[20].

Di Harian Kompas, sikap ini juga ditunjukkan sehingga persoalan karst di Sarolangun menjadi persoalan nasional. Kawasan karst Bukit Bulan, Kecamatan Limun, Kabupaten Sarolangun, Jambi, terancam oleh masuknya tambang dan pabrik semen. Industri ini juga bakal mengganggu ekosistem kawasan hulu lindung dan bagian taman geologi berusia 290 juta tahun yang diajukan sebagai warisan dunia[21].

Ketidaktegasan sikap pemerintah terlihat dengan terus melenggangnya perlahan namun pasti sosialisasi analisis dampak lingkungan sebuah perusahaan tambang yang akan memproduksi seman digelar baru-baru ini.

Pengetahuan yang bersandarkan kepada pengetahuan lokal baik melalui seloko, petatah-petitih dan tambo memberikan pengetahuan yang baik terhadap masyarakat. Dari seloko, petatah-petitih dan tambo dapat diketahui tentang sejarah dan wilayah klaim adat baik masing-masing Desa.

Keberhasilan masyarakat mementahkan kehadiran berbagai perusahaan dan melindungi kawasan konservasi berdasarkan filosofi yang dianutnya.

Keadaan di atas menegaskan betapa ekosistem hutan pada saat masih terjaga dengan baik.

Kawasan hutan ini penting untuk dipertahankan, karena berada di wilayah hulu Jambi dan merupakan kawasan ekologi penting. Selain menjadi sumber air bagi DAS utama Batanghari, juga merupakan wilayah penghidupan masyarakat setempat. Secara keseluruhan hutan ini merupakan kawasan penyangga (buffer zone) Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS). Kawasan yang tersisa di Jambi.

Kemampuan menjaga hutan oleh masyarakat di daerah hulu Sungai Batanghari berbanding terbalik dengan kawasan hutan dikelola perusahaan atau negara.

Luas tutupan lahan hutan Jambi selama 10 tahun berkurang sebesar satu juta hektare. Dari 2,4 juta hektare pada 1990 menjadi 1,4 juta hektare pada tahun 2000, atau sebesar 29,66 persen dari total luas wilayah Jambi. Pengurangan tutupan lahan hutan ini terjadi di dataran rendah dan pegunungan, yaitu 435 ribu hektare. Sisanya terjadi di lahan rawa gambut[22]

Penurunan tutupan lahan hutan disebabkan oleh alih‐fungsi kawasan hutan menjadi areal pengunaan lain (APL) untuk perkebunan besar kelapa sawit dan budidaya pertanian lainnya. Selain itu juga oleh kegiatan perusahaan HPH, HTI dan pertambangan.

Ketidakmampuan negara dan masih berdebat berdebat tentang cara terbaik mengatasi perubahan iklim, emisi karbon pun terus meningkat. Masyarakat di hulu Batanghari sendiri telah melakukan upaya penyelamatan hutan.

Filosofi dan Nilai‐nilai adat (local wisdom) dalam pengelolaan sumberdaya alam disepakati masyarakat sebagai prinsip utama dalam pengelolaan hutan kemudian diatur didalam kedalam sebuah peraturan desa. Dengan cara demikian dan kebijakan tentang pengelolaan sumberdaya alam yang baik dan lestari dapat berlangsung secara berkesinambungan.

Pelajaran dari filosofi masyarakat di hulu Sungai Batanghari didalam mengelola sumber daya alam menjadi pelajaran berharga.

Begitu pentingnya keberadaan masyarakat didalam menata dan menjaga sumber daya alam merupakan kekuatan masyarakat melindungi kawasan dari penghancuran.

Rencana penghancuran kawasan karst dunia ini akan semakin dipercepat jika pengesahan dokumen AMDAL disetujui oleh konspirasi pemerintah setempat. Padahal kawasan karst ini berada sangat dekat dengan kawasan Geopark Merangin, yang telah diajukan badan geologi Kementrian ESDM ke UNESCO. Geopark yang diperkirakan berusia 300 juta tahun dan kawasan karst Bukit Bulan tentunya akan menjadi ladang riset utama para geolog dunia dalam mempelajari evolusi bumi[23].

Pentingnya kawasan karst di areal yang dilindungi masyarakat berdasarkan seloko “Teluk sakti. Rantau betuah, Gunung Bedewo”, Hulu Air/Kepala Sauk, Rimbo Puyang/Rimbo Keramat, Bukit Seruling/Bukit Tandus. Atau Rimbo sunyi “Tempat siamang beruang putih. Tempat ungko berebut tangis.

Istilah Rimbo ganuh atau rimbo sunyi atau hutan keramat merupakan daerah yang tidak boleh dibuka. Ujaran yang diwariskan secara turun menurun merupakan makna simbolik masyarakat terhadap daerah-daerah yang harus dilindungi.

Penghancuran kawasan karst berdampak kepada sungai di Batang Asai dan Sungai Batang Limun.  Sungai di hulu yang mengairi Sungai Batanghari. Sungai Terpanjang di Sumatera.






* Direktur Walhi Jambi



[1]          Masyarakat hukum yang bermukim di Jambi Hulu, yaitu Onderafdeeling Muarabungo, Bungo, Sarolangun dan sebagian dari Muara Tebo dan Muara Tembesi. F. J. Tideman dan P. L. F. Sigar, Djambi, Kolonial Institutut, Amsterdam, 1938.
[2]          Daerah Aliran Sungai (DAS) Batang Hari merupakan DAS terbesar kedua di Indonesia, mencakup luas areal tangkapan (catchment area) ± 4.9 juta Ha. Sekitar 76 % DAS Batang Hari berada pada provinsi Jambi, sisanya berada pada provinsi Sumatera Barat. DAS Batang Hari juga berasal dari berada di dalam kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) dan di Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD). Di landscape TNKS terdapat Margo Batin Pengambang dan Margo Sungai Tenang. Sedangkan di Landscape TNBT terdapat Margo Sumay. Sungai Batanghari merupakan muara dari sembilan hulu anak sungai (Sungai-sungai besar yang merupakan anak Sungai Batanghari adalah Batang Asai, Batang Tembesi, Batang Merangin, Batang Tabir, Batang Tebo, Batang Sumay, Batang Bungo, dan Batang Suliti.). Namun studi ini akan dikonsentrasikan kepada Margo Sumay (Sungai Sumay), Margo Sungai Tenang (sungai Batang Tembesi) dan Margo Batin Pengambang (Sungai Batang Asai)
[3]          F. J. Tideman dan P. L. F. Sigar, Djambi, Kolonial Institutut, Amsterdam, 1938.
[4]          Istilah Marga telah dikemukakan oleh J.W.Royen, seorang pegawai Pemerintahan Kolonial yang sedang cuti dalam disertasinya (1927). Studi ini mengenai hak-hak atas tanah dan air dari Marga, yakni suatu unit komunitas yang murni bersifat teritorial di Palembang, satu dari empat bagian di wilayah hukum Sumatera Selatan. Selain Palembang, bagian hukum adat lain juga terjadi di distrik Jambi, Bengkulu dan Lampung. Van Vollenhoven meneyebutkan beschikkingrecht sebagai sebuah konsep yang seragam, pembentuk identitas Indonesia yang kepulauan. Lihat ADAT DALAM POLITIK INDONESIA, (editor Jamie S. Davidson dkk), KITLV, Jakarta, 2010, hal. 89.
[5]          Dari berbagai sumber, juga disebutkan Pesirah (margahoofd) adalah kepala pemerintahan marga pada masa  Hindia-Belanda di wilayah Zuid Sumatra (Sumatera Selatan yang wilayahnya bukan seperti saat ini). Pesirah merupakan seorang tokoh masyarakat yang memiliki kewenangan memerintah beberapa desa. Pasirah adalah salah satu  elite tradisional yang bertugas mengatur pemerintahan tradisional dan acara ritual-ritual, pesta-pesta dan upacara-upacara adat lainnya. Di samping sebagai kepala pemerintahan, pasirah juga memiliki fungsi sebagai hakim tertinggi  dalam memutuskan segala permasalahan baik yang menyangkut adat-istiadat maupun masalah perkawinan, perceraian dan aturan jual beli. Dalam menjalani pemerintahan dan pelaksanaan adat, pasirah dibantu oleh seorang kepala dusun. Secara historis sistem pasirah terbentuk melalui Surat Keputusan Pemerintah kolonial Belanda Tertanggal 25 Desember  1862
[6]   Istilah Malayu pertama kali muncul pada tahun 671 M oleh seorang biksu Tiongkok bernama I-Tsing yang pada saat itu bermukim di kerajaan Malayu (Jambi) yang terletak di lembah Batang Hari untuk memperdalam pengetahuan mengenai filsafat agama Budha. ULI KOZOK, PH.D,  KITAB UNDANG-UNDANG TANJUNG TANAH NASKAH MELAYU YANG TERTUA, Yayasan Naskah Nusantara Yayasan Obor Indonesia Jakarta 2006
[7]          Zulyani Hidayah, Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, Jakarta, LP3ES, 1997
[8]          Secara fenomologis, Melayu merupakan sebuah entitas kultural (Malay/Malayness sebagai cultural termn/terminologi kebudayaan)
[9]          Yusmar Yusuf, Ibid,  Hal. 34
[10]        Yusmar Yusuf, Ibid,  Hal. 40
[11] Vergouwen menegaskan “Seloko” adalah petatah, petitih yang didapatkan dari pengetahuan turun temurun, memberikan motivasi bagi suatu kelompok untuk bertindak (in action). Dalam khazanah Bahasa Belanda dikenal dengan istilah “gevleugelde woorden (kata-kata bersayap), yaitu seperangkat kata yang begitu diucapkan akan menyebar dan hinggap dimana-mana seperti burung dan siapapun dapat menimba manfaat darinya. Lihat Nico Ngani, Perkembangan hukum Adat Indonesia
[12] Melambangkan kemakmuran
[13]        Mengandung makna bahwa setiap potensi sumberdaya, khususnya potensi sumberdaya manusia dapat dimaksimumkan pendayagunaannya dalam mencapai cita-cita bersama, dimana pelaku pembangunan harus sesuai dengan bidang keahliannya.
[14] Mengandung makna bahwa setiap individu dalam bermasyarakat harus memegang etika moral yang bersifat naturalistik. Dapat ditafsirkan sebagai   “Kekuatan Batin dari Desa”. Dalam Konsep Von Savigny dikenal dengan istilah “die Volksgeist”. Volksgeist merupakan gabungan dari kekuatan magis yang melingkupi suatu perkumpulan adat / persekutuan hukum (rechtsgemeenshap).
[15] Yusmar Yusuf, Studi Melayu, Ibid, Hal. 71
[16] F. J. Tideman dan P. L. F. Sigar, Djambi, Kolonial Institutut, Amsterdam, 1938
[17]        Kawasan karst Bukit Bulan, Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi, Indonesia terletak koordinat -2° 3818.02S 102° 266.16E ; -2° 3934.2S 102° 2622.2E dan -2° 3935.64S 102° 2620.4E).
[18]        Walaupun pemerintah indonesia telah mengeluarkan peraturan pemerintah nomor 26 tahun 2008 tentang rencana tata ruang wilayah nasional, terutama pasal 50 dan pasal 53 mengenai kawasan lindung geologi, Kepmen ESDM Nomor 1456.K./20/MEM/2000 dan Permen ESDM nomor 17 tahun 2012 tentang penetapan kawasan bentang alam Karst, akan tetapi pemerintah kabupaten (Bupati) setempat tidak menghiraukan peraturan tersebut dan melanggar peraturan dengan tetap memberikan kawasan Karst Bukit Bulan sebagai bahan baku industri semen.
[19] Wawancara dengan Kepala Desa Berkun, Alam Sumatera, September 2013
[20] Data dari berbagai sumber. KKI-Warsi, G-Cinde, Walestra.
[21] Kompas, 25 September 2013
[22] Dari berbagai sumber, WALHI Jambi, 2011.
[23] http://nationalgeographic.co.id/berita/2012/06/geopark-merangin-menuju-jaringan-geopark-dunia