09 November 2020

opini musri nauli : Perjalanan Betuah (14)



Sebelum mendatangi Dapil 3 Dan dapil 4 terutama ke Rimbo Bujang dan Kecamatan VII Koto dan Kecamatan VII Koto, Al Haris sempat ke perbatasan Jambi – Sumbar. 


Ditengah masyarakat Jambi – Sumbar (baca masyarakat Minangkabau dan Kerajaan Pagaruyung) batas Jambi dikenal sebagai “durian takuk Rajo”. 


Istilah “durian takuk Rajo” tercermin didalam Tembo Provinsi Jambi dan Tambo Pagaruyung. 


Didalam Tembo Propinsi Jambi, “berjenjang dari Sialang Belantak Besi, lepas dari Durian Takuk Rajo. Melayang ke Tanjung Semelidu menuju Berajo Nan Seberang”.

Ditengah masyarakat, batas Jambi dengan Sumbar dikenal “durian takuk rajo”. Sedangkan batas Jambi dengan Sumsel dikenal “Sialang belantak besi”. 


Untuk memudahkan pemahaman tentang batas-batas Provinsi Jambi, Provinsi Sumbar dan Provinsi Sumsel dikenal dengan “deklarasi Bukti Sitinjau Laut”. 


Muchtar Agus Cholif menyebutkan “Ikrar Bukit Sitinjau Laut. Ikrar Bukit Sitinjau Laut juga dikenal di Marga Jujuhan. Marga Jujuhan kemudian dikenal masuk kedalam Kabupaten Bungo. 


Ikrar Bukit Sitinjau Laut adalah bertemunya Kerajaan Tanah Pilih, Kerajaan Pagaruyung dan Kerajaan Indrapura untuk meletakkan hukum adat sebagai pedoman kehidupan masyarakat. 


Deklarasi ketiga Kerajaan yaitu Kerajaan Tanah Pilih (kemudian menjadi Kerajaan Jambi Darussalam), Kerajaan Palembang Darussalam (Sumsel) dan Kerajaan Pagaruyung (Sumbar) kemudian menetapkan batas ketiga kerajaan. Deklarasi ini kemudian dikenal “Deklarasi Bukit Sitinjau Laut”. (Muchtar Agus Cholif, 2009)


Istilah “durian takuk rajo” kemudia dikenal didalam Marga Jujuhan yaitu di “Rantau Panjang, Jumbak, Tepian Danto, Aur gading, Talang pembesun  (di Rimbo Bujang).


Dalam seloko di tengah masyarakat di daerah hulu Sungai Batanghari dikenal seloko “Jika menghadap ia ke hilir, jadilah beraja ke Jambi. Jika menghadap hulu maka Beraja ke Pagaruyung. Atau “mengilir berajo Jambi, lipat pandan balek ke Minangkabaru. 


Dengan menggunakan “Tembo”, wilayah Jambi kemudian dituliskan “Mulai Dari Sialang Belantak Besi, menuju durian takuk rajo, mendaki ke Pematang Lirik dan Besibak, terus ke sekeliling air Bangis, Mendepat ke Sungai Tujuh Selarik, terus ke Sepisak Piasau Hilang, Mendaki Ke Bukit Alunan Babi, meniti Pematang Panjang, Laju Ke Bukit Cindaku, mendepat ke Parit Sembilan,  turun ke renah Sungai keteh Menuju Ke SUngai Enggang, terjun ke laut nan sedidis, mendepat ke Pulau Berhalo, Menempuh Sekatak Air Hitam, menuju Ke Bukit Si Guntang-guntang, Mendaki Ke Bukit Tuan, Menempuh Ke Sungai Banyu lincir, Laju Ke Ulu Singkut BUkit Tigo, Mudk ke serintik Hujan, -Paneh, Meniti Ke Bukit Barisan, Turun ke renah Sungai Bantal, Menuju Ke sungai Air dikit, Mendepat ke Hulu Sungai ketun, Mendaki ke bukit Malin Dewo, menuju K Sungai Ipuh, Mendaki ke BUkit Sitinjau laut, menuju ke GUnung Merapi, mendepat ke Hulu Danau Bentu, menempuh ke BUkit Kaco, meniti pematang lesung tereh, menuju ke Batu angit Batu Kangkung, terus ke teratak Tanjung Pisang, mudik kelipai nan besibak, terus ke siangkak nan bedengkang, ilir ke durian takuk rajo, melayang ke tanjung semalido, disitu tanah beringin duo batang. 


Istilah “durian takuk Rajo” yaitu penanda pohon dengan cara memotong sedikit (Takuk). Takuk yang dilakukan para Raja kemudian dikenal sebagai “takuk Rajo”. Tanda ikrar batas yang masih dihormati. 


Istilah “durian takuk rajo” bisa ditemui di Marga Jujuhan, Marga VII Koto dan Marga Sumay yang berbatasan langsung dengan Sumbar. “Tanjung Samalidu juga dikenal di Marga Jujuhan dan Marga VII Koto. 


Nama-nama tempat itulah yang mengelilingi Jambi yang biasa dikenal dengan istilah “Tembo”. Kesemua pengetahuan tentang Tembo masih terdapat di tengah masyarakat. 


Dalam Tambo Minangkabau, Nan salilik Gunuang Marapi, Saedaran Gunuang Pasaman, Sajajran Sago jo Singgalang, Saputaran Talang jo Kurinci, Dari sirangkak nan badangkang, Hinggo buayo putiah daguak, Sampai ka pinto rajo hilie, Hinggo durian ditakuak rajo, Sapisai-pisau hanyuik, Sialang balantak basi, Hinggo aia babaliak mudiak, Sampai ka ombak nan badabua, Sailiran batang sikilang, Hinggo lawuik nan sadidieh, Ka timua ranah Aia Bangih, Rao jo Mapat Tunggua, Gunuang Mahalintang, Pasisie Rantau Sapuluah, Hinggo Taratak Aia Itam, Sampai ka Tanjuang Simalidu, Pucuak Jambi Sambilan Lurah


“Sialang Belantak besi, Tanjung Simalidu” merupakan nama tempat di Marga VII Koto. 


Marga VII Koto disebutkan sebagai wilayah Kerajaan Pagaruyung. Marga VII Koto yang mengilir Sungai Batanghari sebagai “ikua Rantau”. Cerita “Datuk Perpatih nan sebatang dan Datuk Ketemenggunggan” begitu kuat. Bahkan Elsbeth Scholten-Locker “menyebutkan” Marga VII Koto dan Marga IX alur jalur Pagaruyung”. Sehingga tidak salah kemudian Marga VII Koto dan Marga ICX Koto dikategorikan sebagai merupakan “ikua rantau”. 


Marga VII berbatasan dengan Marga IX Koto yang ditandai dengan seloko “Durian takuk Rajo, Keramat tanah tumbuh, Muara Sako, Ke Tonggak Perabun Bulian, Menyeberang Sungai Mengkawas, mendaki Batu belarik, Danau terumbai, Menurun ke ujung pematang kulin, tanah ditumbuhi salak”. 


Berbatasan dengan Marga Jujuhan yang ditandai dengan seloko “Payung nan tiga kaki, tiwang tiga kabung”. Marga Bilangan V “tujuh nan tanah sepenggal hingga kabau nan basurek. Sungai Cempedak belarik”. 


Berbatasan dengan Sumatera Barat yang ditandai dengan “Sungai tidak beulu. bermuara ke Sungai Mengkares. Tebing dalam tidak terturuni. Tebingi tinggi dak tedaki. Nampak masam sebelah”. 


Sedangkan Tambo Minangkabau yang menyebutkan batas timur dengan “Tanjung Samalidu”. Tanjung Samalidu kemudian ditandai dengan nama “berjenjang dari sialang belantak besi lepas ke durian Takuk Rajo. Melayang ke Tanjung Samalidu menuju berajo nan sebatang. Seloko ini juga dikenal di Marga Jujuhan. 


Dengan demikian maka tambo Jambi yang “ditakuk Rajo” bersama-sama dengan Raja Pagaruyung sesuai dengan Tambo Minangkabau dan masih hidup ditengah masyarakat Melayu Jambi. 


Pencarian terkait : musri nauli, opini musri nauli, jambi dalam hukum, jambi, hukum adat jambi.