Setelah menyusuri desa-desa di pinggir Sungai Batanghari seperti Desa Londrang, Desa Rantau Panjang dan Desa Manis Mato maka Al Haris berkesempatan untuk ziarah ke makam Orang Kayo Hitam.
Sebagaimana telah diterangkan pada berbagai opini yang telah disampaikan beberapa waktu yang lalu, Orang Kayo Hitam adalah nama yang melekat masyarakat Jambi.
Cerita tentang Orang Kayo Hitam tidak hanya dikenal diberbagai Marga/Batin di sekitar makam Orang Kayo Hitam yang terletak di Simpang. Simpang termasuk kedalam Marga Berbak. Atau diceritakan di Marga Kumpeh Ulu dan Marga Kumpeh Ilir.
Tapi juga disebutkan didalam Kisah Marga Air Hitam. Orang Kayo hitam adalah putra dari Datuk Paduko Berhalo. Datuk Paduko berhalo sering disebut sebagai orang yang meneruskan kerajaan Tanah Pilih. Saudara Rang Kayo Hitam adalah Orang Kayo Pingai, Orang Kayo Pedataran dan Orang kayo Gemuk.
Orang Kayo hitam adalah Kemenakan Tumenggung Merah Mato. Tumenggung Merah Mato berasal dari Pagaruyung. Istri Tumenggung Merah Mato disebut Susu Tunggal. Disebut sebagai Susu Tunggal karena menurut legenda, setiap menyusu putranya, putranya selalu meninggal. Akhirnya diperah air susu dan diberikan anjing. Melihat anjing mati maka salah satu susunya mengandung racun. Sejak itu disebut Susu Tunggal.
Sehingga tidak salah kemudian Datuk Paduko Berhalo dan Orang Kayo Hitam dikenal sebagai Rajo Jambi
Membicarakan Datuk Paduko Berhalo dan Orang Kayo Hitam juga dikenal Sumpah ataupun kutukan dari Raja Jambi.
Kutukan Datuk Paduko Berhalo berisikan “Barang siapa yang mengubahkan perbuatan mengubahkan perbuatan itu yang tersebut itu atau bersuruk budi bertanam akal, pepat diluar rencong didalam atau memasang ranjau di bendur atau menanjak kanti seiring dan jika dikerjakan seperti yang tersebut itu maka dikutuki Quranul Azim yang tigapuluh Juz, menghadap ke ulu keno kutuk dimakan bisa kawi, Yang dipertuan di Pagaruyung, menghadap ke ilir keno kutuk bisa Datuk paduko Berhalo.
Keatas tidak berpucuk, kebawah tidak berakar. Ditengah ditarik kumbang padi, Padi ditanam ilalang tumbuh. Dimana juga mungkirnya disanalah tinggallah sumpah itu.
Seloko “Keatas tidak berpucuk, kebawah tidak berakar. Ditengah ditarik kumbang padi, Padi ditanam ilalang tumbuh. Dimana juga mungkirnya disanalah tinggallah sumpah” atau “pepat diluar, rencong didalam” juga dikenal ditengah masyarakat. Hukuman ini disebut “Plali”.
Dalam hukuman “Plali” disebutkan didalam seloko “Bapak pado harimau, Berinduk pada gajah, Berkambing pada kijang, Berayam pada kuawo.
Hukuman ”Plali” kemudian sering juga disebutkan ”hukuman buangan” atau ”hukuman bunian”. ”Sakit dak diurus. Mati dak dikuburkan”. Manusia buangan yang tidak perlu diteladani.
Namun Kutukan Datuk Paduko Berhalo lebih berat daripada hukuman Plali atau ”hukuman buangan” atau ”hukum bunian”.
Kutukan Datuk Paduko Berhalo ditujukan kepada Rajo Jambi. Yang memegang amanah ”alam sekato Rajo. Negeri Sekato batin”.
Sedangkan kesalahan dan hukuman seperti hukuman Plali atau ”hukuman buangan” atau ”hukum bunian ditujukan kepada rakyat Jambi. Yang melanggar pantang larang adat yang telah diatur.
Pencarian terkait : Musri nauli, opini musri nauli, jambi dalam hukum, hukum adat jambi, jambi,
Opini Musri Nauli dapat dilihat : www.musri-nauli.blogspot.com