Di
Indonesia yang memiliki beragam budaya dan beraneka suku, pengadilan
bisa mengesampingkan KUHP dan menguatkan hukuman dengan hukum adat
yang berlaku di tempat tersebut.
Hukum adalah norma, aturan yang bertujuan menciptakan keadilan. Hukum adalah jiwa yang bisa dirasakan makna keadilan. Makna keadilan adalah jiwa yang senantiasa hidup dan berkembang.. Dari sudut pandang ini, catatan ini disampaikan. Melihat kegelisahan dari relung hati yang teraniaya..
12 Oktober 2012
11 Oktober 2012
opini musri nauli : KUHP dalam perkembangan
Sebuah
situs hukumonline mengabarkan berita yang membuat miris. Perkembangan
KUHP dalam praktek hukum pidana tertinggal, adanya paradigma ideologi
yang masih berorientasi kepada “kepastian hukum” dan meninggalkan
makna “keadilan”. Ketua Muda Bidang Pidana Mahkamah Agung lebih
tegas menyatakan “Nilai-nilai dasar hak
asasi manusia, substansi hukum dan asas persamaan di hadapan hukum
dalam konsep UUD 1945 pasca amandemen dinilai Artidjo belum
sepenuhnya ditransformasikan ke ranah penegakan hukum. Sehingga
ideologi hukum yang termuat dalam KUHP dan KUHAP mengandung beberapa
kendala untuk pencapaian keadilan
(http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt50764c855aa72/kuhp-dan-kuhap-belum-ikuti-paradigma-konstitusi)
opini musri nauli : DUKUNGAN KPK
Membicarakan KPK dalam
sudut pandang rumusan UU telah banyak dibahas. Telah panjang lebar
disusun dan disusun. Telah panjang lebar diperdebatkan.
06 Oktober 2012
opini musri nauli : SERANGAN "SKAK MATT" KEPADA KPK
SERANGAN
“SKAK MATT” KEPADA KPK
Lagi-lagi
kita “dipertontonkan” adegan intimidasi dan gaya “cowboy”
ketika puluhan polisi berseragam lengkap dan
preman itu berdatangan secara bergelombang ke Gedung KPK. Belasan
dari mereka terlihat memakai pakaian resmi Provost. Mayoritas mereka
berasal dari Polda Bengkulu. Hingga pukul 24.00 WIB, sebagian dari
mereka masih berada di KPK. Provost yang hadir di KPK dikabarkan
mengincar salah satu penyidik senior di lembaga itu, Kompol Novel
Baswedan. (detik.com)
05 Oktober 2012
opini musri nauli : SUARA NURANI MENGALAHKAN BIROKRASI
SUARA
NURANI MENGALAHKAN BIROKRASI
28
Penyidik Kepolisian Jadi Pegawai KPK. Judul bombastis yang dimuat di
situs kompas.com menggelitik penulis. Judul ini sengaja dipajang
besar-besar untuk “menguji” pemikiran kita. Judul itu kemudian
dapat ditafsirkan berbagai makna.
(http://nasional.kompas.com/read/2012/10/04/15265767/28.Penyidik.Kepolisian.Jadi.Pegawai.KPKfb_action_ids=3800346526941&fb_action_types=og.likes&fb_source=aggregation&fb_aggregation_id=288381481237582)
Makna
pertama dapat saja “ditafsirkan”
28 penyidik kemudian memilih pekerjaan menjadi pegawai KPK daripada
menjadi penyidik di Kepolisian. Dalam pemikiran ini tidak salah
apabila “pilihan”
pekerjaan merupakan “hak asasi”
sebagaimana didalam rumusan pasal 28 konstitusi yang berbunyi “Setiap
orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang
adil dan layak dalam hubungan kerja. Makna “setiap
orang berhak untuk bekerja” sedang digagas para penyidik dalam
peristiwa ini.
03 Oktober 2012
opini musri nauli : Hukuman mati dari sudut pandang hakim
Beberapa
waktu yang lalu, Mahkamah Agung (MA) menganulir vonis mati bagi
pemilik pabrik narkotika Henky Gunawan. Dalam putusan Peninjauan
Kembali (PK), Hengky hanya dihukum 15 tahun penjara dengan alasan
hukuman mati melanggar konstitusi. Putusan ini dijatuhkan oleh Imron
Anwari selaku ketua majelis dengan Achmad Yamanie dan Prof Dr Hakim
Nyak Pha selaku anggota.
opini musri nauli : KETIKA HUKUM "MEMERLUKAN' IZIN
MK
berdasarkan Putusan No. Nomor 73/PUU-IX/2011 telah
mengabulkan permohonan pemohon dan kemudian membatalkan Pasal 36 ayat
(1) dan Pasal 36 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah. MK juga menegaskan selain membatalkan juga
menyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan
mengikat.
30 September 2012
opini musri nauli : JOKOWI DAN KEMENANGAN SUARA HATINURANI
Setelah
KPU DKI Jakarta menetapkan JOKOWI sebagai pemenang Pilkada DKI
Jakarta, demam “kotak-kotak” tidak terbendung. Dalam
berbagai pembicaraan baik di dunia maya maupun dalam berbagai
tingkatan sosial “seakan-akan” tidak habis-habis mengalami
peristiwa ini. Rakyat DKI larut dengan suasana ini.
Ini
penulis rasakan ketika pada akhir pekan lalu di Jakarta. Penulis yang
menggunakan transportasi taksi “selalu membuka wacana” dan
memulai pembicaraan dengan suasana “kotak-kotak”.
Pertanyaan selalu dimulai untuk mencairkan suasana kaku dan sekaligus
mengetahui tingkat partisipasi publik DKI Jakarta dalam suasana
Pilkada.
29 September 2012
opini musri nauli : MEMPERSOALKAN GELAR AKADEMIK
Dengan tidak mengurangi rasa hormat, tulisan Saudara
Bahren Nurdin berjudul ”DOKTOR MUMPUNG ; KETIKA GELAR AKADEMIK KEHILANGAN
MAKNA menggelitik penulis untuk bersikap. Terlepas dari substansi yang
hendak dipaparkan, ada beberapa kritik yang hendak disampaikan untuk ”memperkuat”
tulisan.
Pertama. Sebagaimana telah disampaikan oleh
saudara Bahren Nurdin, harus diakui ”gelar akademik” telah memberikan
entitas tersendiri. Dalam struktur masyarakat Melayu, struktur ini ditempatkan
dalam istilah ”cerdik pandai”. Sebuah struktur masyarakat yang diajak ”rembuk”
dalam membicarakan berbagai persoalan sosial dalam rapat-rapat adat. Struktur
ini sejajar dengan struktur lain seperti ”tuo tengganai”, ”alim ulama”
dan sebagainya.
opini musri nauli : WATAK KEKERASAN
Entah apa yang terjadi di negeri ini. Belum usai
mendiskusikan korupsi, terorisme, eh, generasi muda – anak sekolahan lagi
membikin geger. Apabila sebelumnya tawuran masih menjadi gejala kenakalan
remaja, sekarang memakan korban. Alawy Yusianto Putra (15) dan Deny Yanuar (17)
tewas setelah masing-masing dibacok di dada dan dikeroyok.
Diskusi hangat diberbagai media massa memang
membenturkan dua norma yang serius untuk disikapi. Pertama terhadap korban.
Kedua adalah pelakunya.
Langganan:
Postingan (Atom)