Akhir-akhir
ini, saya sering “kesal” membaca status di FB, twitter, laporan, narasi bahkan
pengajuan skripsi (untung aja tidak tesis).
Kekesalan dimulai dari penggunaan tanda baca, tema yang ditawarkan, hubungan
antara satu kalimat dengan kalimat lain, ide yang berserakan hingga penulisan
yang mengganggu makna.
Yang menulis
tidak hanya masyarakat kebanyakan. Bahkan “oknum” (kok pakai oknum, ya) di
Pemerintahan, ketua partai, “oknum” anggota DPRD (lagi-lagi pakai oknum),
timses, mahasiswa hingga masyarakat kebanyakan.