Dalam
perkembangan Marga di Jambi tidak luput mengalami perkembangan dan meninggalkan
jejak. Atau sebaliknya. Hilang.
Hukum adalah norma, aturan yang bertujuan menciptakan keadilan. Hukum adalah jiwa yang bisa dirasakan makna keadilan. Makna keadilan adalah jiwa yang senantiasa hidup dan berkembang.. Dari sudut pandang ini, catatan ini disampaikan. Melihat kegelisahan dari relung hati yang teraniaya..
22 Februari 2017
21 Februari 2017
opini musri nauli : Dr Helmi – Akademisi Tulen dari Kampus
Ketika
mendapatkan kabar Dr Helmi menjadi Dekan Fakultas Hukum UNJA maka teringat
kenangan 13 tahun yang lalu. Seorang mahasiswa angkatan 90-an Fakultas Hukum
UNJA yang baru selesai ujian skripsi.
19 Februari 2017
opini musri nauli : Marga Sumay
Didalam peta Pemerintah
Belanda tahun 1923 “Schetskaart Residentie Djambi Adatgemeenschappen
(Marga's) schaal 1 : 750.000, dikenal Marga Sumay. Marga Sumay, Marga VII
Koto, Marga IX Koto, Marga Petajin Hulu, Marga Petajin Ilir dan Marga Tabir Ilir
termasuk kedalam wilayah administrasi Kabupaten Tebo. Didalam bukunya F. J
Tideman dan P. L. F, Sigar “De Jambi”
kemudian disebut “onderafdeeling Tebo[1]’.
Marga Sumay langsung berbatasan dengan Residentie Riouw en
Onderhoorigheden[2],
Marga IX Koto, Margo Petajin Ulu. Pusat Margo Sumay di Teluk Singkawang.
Sedangkan Margo IX Koto di Teluk Kuali. Dan Margo Petajin Ulu di Maro Tebo.
opini musri nauli : Jambi dan Sungai
Suatu Pengantar[2]
Musri Nauli[3]
Membicarakan
Jambi tidak dapat dilepaskan dari Sungai Batanghari. Sungai Batang Hari merupakan bagian dari Daerah Aliran Sungai
(DAS) Batanghari, yang terdiri atas beberapa sub DAS seperti Sub DAS Batang Tembesi,
Sub DAS Jujuhan, Sub DAS Batang Tebo , Sub DAS Batang Tabir, Sub DAS Tungkal dan Mendahara, Sub DAS Air
Hitam, Sub DAS Airdikit,
Sub DAS Banyulincir. Namun ada
juga menyebutkan Batang Asai,
Batang Tembesi, Batang Merangin, Batang Tabir, Batang Tebo, Batang Sumay,
Batang Bungo, dan Batang Suliti.
16 Februari 2017
14 Februari 2017
opini musri nauli : MENELISIK KURSI GUBERNUR JAKARTA
Tidak
henti-hentinya riuh gemuruh Pilkada Jakarta. Hampir praktis 6 bulan terakhir
ini, degup jantung public “dipaksa” untuk mengikuti perkembangan. Mulai dari
jalanan, ruang sidang, tempat-tempat keagamaan, pasar, kerumunan massa, ruang
kopi bahkan istana. Saya bisa pastikan, Pilkada Jakarta adalah peristiwa paling
heboh di nusantara. Bahkan mengalahkan “pilres” yang ketika sidang di MK,
sedang berlangsung grand Film Akademi dangdut di sebuah televisi.
Pilkada
Jakarta juga mengumpulkan orang. Dari organisasi “abal-abal, sponsor,
organisasi keagamaan, barisan para mantan hingga para pemain lama yang sudah
waktunya mengemong cucu. Semuanya ingin bersuara dan menumpang popular dengan
blitz lampu yang terus menyala.
Pelan
tapi pasti. Ruang sidang pengadilan yang seharusnya menjadi arena
memperlihatkan bukti kemudian “dipindahkan” ke luar pengadilan. Kembali gemuruh
suara terjadi.
Tidak
cukup di ruang pengadilan, Gemuruh suara kemudian berpindah ke istana. Ketika
istana mengeluarkan keputusan, perdebatan berpindah. Di ruang akademisi yang
saling bersilang pendapat.
Dari
berbagai pendapat yang telah mengemuka, berbagai tafsiran terhadap peristiwa
pengangkatan kembali Ahok menimbulkan polemic. Menggunakan pasal yang sama namun
menimbulkan perbedaan makna. Dan akhirnya saya juga harus menuliskannya. Selain
membantu “memperkeruh” juga melihat dari sudut pandang yang lain.
Pertama.
Para ahli menggunakan penafsiran gramatikal. Sebagaimana yang telah disampaikan
oleh Zainal Arifin Mochtar, keseluruhan pakar yang memberikan tanggapannya baik
Denny Indrayana, Mahfud bahkan Refly Harunpun tidak begitu “ketat-ketat amat”.
Dalam berbagai pandangannya, mereka melompat-lompat antara penafsiran gramatika
melompat-lompat ke penafsiran historis, penafsiran sistematis. Pokoknya seru.
Kedua.
Para ahli melihat dari sudut pandang yang berbeda. Antara yang “bertahan”
dengan penafsiran gramatikal” ataupun dari penafsiran yang lain.
Ketiga.
Keinginan untuk tetap mempertahankan kursi Gubernur atau harus
“memberhentikan”.
Dari
berbagai wacana, saya tertarik yang disampaikan dari standing (posisi) yang
disampaikan oleh Erdianto Effendi (EE)
yang dimuat di Riau Pos dan kemudian dipublish di FB.
Entah
beberapa kali saya harus membolak-balik membaca tulisan agar standing dan
argumentasi yang disampaikan tidak keliru kemudian saya tanggapi. Dan ketika
saya menemukan ruang yang dilewatkan oleh (EE), maka saya kemudian ingin urun
rembug sehingga dapat memperkaya untuk membaca tulisan dari EE.
Pertama.
Dari berbagai analisa yang dipaparkan, titik tekan yang disampaikan oleh EE
tentang kategori tindak pidana berat atau ringan.
Saya harus sampaikan apresiasi kepada EE yang tetap konsisten
meletakkan tindak pidana pasal 156 A KUHP tidak dapat dikategorikan sebagai
tindak pidana berat sehingga argumentasi EE kemudian mendukung pendapat dari
Refli Harun.
Kedua.
Terhadap makna “paling singkat 5 tahun” sebenarnya makna gramatikal yang sudah
tuntas baik diulas berbagai pakar maupun dari EE sendiri.
Dalam
kesempatan ini, saya tidak mempunyai preferensi untuk memaknai makna pasal 83
UU Pemda.
Namun
terhadap argumentasi yang menolak menafsirkan “paling singkat 5 tahun” sehingga
kursi Gubernur Jakarta tidak diberikan kepada Ahok yang menggelitik saya untuk
menimbrunginya.
Dari
berbagai argumentasi yang disampaikan oleh EE, ada beberapa persoalan yang
menggelitik bagi saya. Persoalan itu didasarkan kepada makna “paling singkat 5
tahun”.
Merujuk
kepada makna gramatikal, ketika kasus pembunuhan atau kasus berat lainnya
didalam KUHP sebagaimana dicontohkan oleh EE maka menimbulkan konsekwensi hukum. Apakah
kemudian tidak bisa dilakukan diberhentikan ?. Maka menggunakan makna
gramatikal “tidak bisa diberhentikan’.
Namun
hukum tidak saja berkaitan dengan asas kepastian hukum (Rechtmatigrecht). Tapi
juga mengedepankan kemanfaataan hukum (Doelmatigrecht)
Terhadap
pelaku yang melakukan tindak pidana berat sebagaimana diatur didalam KUHP dan
kemudian ditahan, maka roda pemerintahan kemudian tidak berjalan. Dari ranah
ini, maka terhadap pelaku dapat dilakukan “pemberhentian sementara’.
Bahkan
walaupun “ancamannya diatas 5 tahun” sebagaimana disyaratkan PP No. 72 tahun
2005, namun ketika Kepala Desapun yang diduga bahkan didakwa melakukan tindak
pidana dibawah 5 tahun, - misalnya
penggelapan - namun kemudian ditahan, maka proses “pemberhentian” juga
tetap dilakukan. Walaupun dengna argumentasi yang berbeda digunakan.
Sementara
itu kekeliruan menempatkan penggabungan pasal 156 KUHP dan pasal 156 A KUHP yang
kemudian menghitung 5 tahun dan kemudian ditambah 4 tahun adalah penempatan
yang kurang pas.
Didalam
melakukan penilaian terhadap terdakwa didalam proses apakah “diberhentikan atau tidak”, dalam praktek
yang digunakan adalah ancaman yang paling tinggi. Bukan kumulatif. Bukan
menggabungkan antara pasal 156 KUHP ditambah pasal 156 A KUHP.
Selain
itu juga dalam praktek pemidanaan, pada prinsipnya Indonesia tidak mengenal
Kumulatif. Didalam pasal 63 ayat (1) KUHP ditegaskan untuk menerapkan yang
paling berat. Uraian ini lebih jelas kemudian dijelaskan didalam pasal 63 KUHP
dan pasal 64 KUHP. Hanya didalam pasal 65 KUHP. Itupun didalam tindak pidana
yang berbeda genus kemudian ditambah sepertiga.
Menilik
dakwaan terhadap Ahok, maka dakwaan masih dalam genus yang sama. “Kejahatan terhadap Ketertiban umum”. Sehingga
kumulatif menggabungkan 4 tahun kemudian 5 tahun tidak bisa diterapkan
sebagaiman diatur didalam KUHP (Pasal 63 ayat (1) KUH)
Ketiga.
Walaupun standing yang digunakan oleh EE berangkat dari pasal 56 KUHAP
(kewajiban mendampingi tersangka) dan pasal 21 dan pasal 23 KUHAP (tentang
ditahannya), namun didalam paparannya kemudian tidak meletakkan proses
penahanan sebagai alas untuk “memberhentikan’.
Padahal
apabila kita menggunakan pasal 56 KUHAP disandingkan dengan pasal 21 dan pasal
23 KUHAP, maka ketika Ahok “tidak ditahan”, terhadap perbuatannya kemudian
tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan berat. Sehingga standing ini justru
memperkuat “tidak perlu dilakukan pemberhentian kepada Ahok”.
Mengikuti
jejak yang telah saya sampaikan, maka saya kemudian meyakini, proses
pemberhentian terhadap Ahok tidak dapat dilakukan.
Terlepas
dari itu semuanya, tanpa lagi memperhitungkan terhadap paparan saya tentang
“Ahok dapat diberhentikan atau tidak”,
saya meyakini proses yang kemudian bergulir ke Mahkamah Agung.
Dengan
menempatkan “fatwa hukum” kepada MA, maka lagi-lagi “bola panas” dipindahkan
Jokowi. Dan apapun fatwa hukum yang diberikan oleh MA bukanlah keputusan
mengikat secara hukum.
Namun
saya berkeyakinan, fatwa hukum dapat membantu memahami kasus ini secara jernih.
12 Februari 2017
Sungai Yang Dikhianati Daratan
Perkebunan sawit, bangunan-bagunan hingga pertambangan merusaknya. Pendangkalan dan kualitas air sungai menjadi masalah. Adalah Musri Nauli, aktivis lingkungan dari Walhi membuat catatannya selama berkeliling di desa-desa di Jambi. Catatan pentingnya adalah empat taman nasional di Jambi punya peran penting menyumbang air ke Sungai Batanghari.
Dia mengatakan menurunnya kondisi taman nasional akan menyebabkan turunnya juga debit dan kualitas air Sungai Batanghari. Selain itu dia mengatakan sungai bagi masyarakat Jambi menjadi penanda. Seperti untuk penamaan tempat.
“Seperti Sungai Jernih, Sungai Keruh, Sungai Bungur Sungai Bertam dan sebagainya,” kata Nauli, pada Senin (20/2) dalam diskusi buku Sungai dan Sejarah Sumatra Yang ditulis akademisi Unand, Gusti Asnan.
Selain penanda, masyarakat Jambi, kata Nauli sangat menghormati sungai. Bagaimana hulu sungai tidak diboleh dibuka, disebut dengan kepala sauk. “Lalu untuk penunjuk arah masyarakat Jambi kan tidak tahu mana mata angin. Maka mereka menggunakan patokan matahari hidup yang mewakili timur dan matahari mati mewakili barat.
“Matahari hidup ditandai dengan adanya ikan-ikan seperti gabus dan toman. Sedangkan matahari mati ada tandanya ikan semah,” ungkapnya.
Lalu Ramli, Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jambi yang jadi pembicara mengatakan ada dua warisan yang disisakan dari peradaban sungai di Jambi. Yaitu bangunan sakral seperti candi, menhir dan semacamnya. Serta benda profa seperti untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, misalnya tranportasi, rumah dan sebagainya. Dia kemudian bertanya, mengapa Sungai Batanghari atau Situs Percandian Muarjambi menjadi penting. Ia menjawab sendiri pertanyaan itu. Bahwa ada kajian di Jambi ada perdagangan merica, sirih, damar hingga emas. Kata Ramli ini adalah hasil penelitian soal pelabuhan-pelabuhan kuno di Indonesia.
Dedi Arman yang merupakan peneliti dari Balai Pelestarian Nilai Budaya Kepulauan Riau bilang belum banyak riset yang fokus soal sungai. “Nyaris belum ada yang membahas soal sejarah sungai,” imbuhnya.
Ujang Hariadi, Plt Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jambi mengatakan pihaknya sempat memiliki riset soal pola pemukiman di pinggir sungai. “Pola pemukiman itu ikut ke arah sungai, sejajar sungai. Tapi itu belum tuntas, belum ada kesimpulan,” kata Ujang.
Wenny, salah satu dosen STISIP NH, tempat diskusi diadakan, mengatakan sebuah cerita saat pihaknya mengadakan Rural Community Development Desember 2016 lalu. Dia mendapat cerita dari masyarakat bagaimana sungai sudah terdegradasi.
“Ketika mereka bercerita sungguh menyakitkan bagaimana sungai dikhianati oleh daratan,” kata Wenny.
Dia menambahkan sejak 90-an banyak illegal loging, perkebunan hingga pertambangan. Sungai yang awalnya jadi pusat kehidupan terkena pencemaran. Saat ini Sungai Batanghari tidak bisa dibuat minum, apalagi mandi. “Ada juga cerita-cerita warga yang mencari saudaranya mengikuti alur sungai,” katanya.
Nukman, salah seorang peserta kemudian berbisik kalau batang itu sendiri artinya sungai yang besar. “Kalau di Kerinci nggak pakai sungai lagi,” ungkapnya terkekeh.
Jumardi Putra selaku moderator dari Jurnal Seloko berseloroh tentang penggunaan kata Batanghari. “Lah penggunaan nama Batanghari saja belum konsisten, apakah batang dengan hari digabung atau dipisah,” katanya sembari disambut tawa kecil peserta diskusi di salah satu kelas STISIP Nurdin Hamzah bilangan Sipin ini. (tribunjambi)
http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbkepri/2017/02/22/sungai-yang-dikhianati-daratan/
11 Februari 2017
opini musri nauli : DERITA PARA MANTAN
Setahun
yang lalu, saya pernah membaca media local
di Jambi tentang Para mantan. Sekilas cerita yang kutangkap maknanya “derita para mantan’.
Konon
kabarnya. Sang Mantan yang pernah berkuasa di Jambi namun menghabisi hari
tuanya hanya dirumah. “Kebiasaan”
mantan ketika berkuasa “sering marah-marah’.
Namun setelah tidak berkuasa, “kebiasaan”
marah-marah tidak bisa hilang. Sang istri mengetahui kebiasaan sang suami
sadar. Apabila kebiasaan marah-marah tidak disalurkan maka akan menimbulkan
depresi yang berkepanjangan.
10 Februari 2017
opini musri nauli : JAWABAN MANTAN UNTUK SANG MANTAN
Karena
mbak Emmy memulai dengna kata “mantan”, maka sesama mantan Direktur, saya ingin
menjawab kegundahan Mbak Emmy.
O,
ya. Saya harus panggil Mbak. Selain memang panggilan yang saya kenal di Walhi
sejak tahun 1998. Panggilan Mbak adalah panggilan hormat kepada yang lebih tua.
08 Februari 2017
opini musri nauli : Logika dan Argumentasi
Dunia maya
tidak bisa dihindarkan berbagai pandangan, memotret dari berbagai sudut,
menganalisis berbagai pendekatan ilmu. Namun tanggapan terhadap sebuah
peristiwa tidak luput dari berbagai pandangan sehingga perdebatan tidak bisa
dihindarkan
Langganan:
Postingan (Atom)