Membaca,
mengamati dan menelisik “peristiwa huru-hara” MAKO Brimob dan “upaya
penyelesaiannya” menarik perhatian saya.
Hukum adalah norma, aturan yang bertujuan menciptakan keadilan. Hukum adalah jiwa yang bisa dirasakan makna keadilan. Makna keadilan adalah jiwa yang senantiasa hidup dan berkembang.. Dari sudut pandang ini, catatan ini disampaikan. Melihat kegelisahan dari relung hati yang teraniaya..
11 Mei 2018
04 Mei 2018
KISAH 3 KOLI KARUNG
“Ketua,
ada 3 karung. Bisa dibawa ke Banjarmasin”.
Suara ditelephone
mengabarkan.
Sebagai “amanah”, tanpa berfikir
panjang segera kuiyakan kabar dari temanku. Harry dari Scale Up. Memegang
amanah lebih berat. Dilan saja tidak mampu.
Kamipun bertemu di bandara dengan
Staff Scale Up. Akupun kaget. Melihat tumpukan 3 koli karung. Berisikan kaos
dan mug. Kamipun bernegosiasi. Berapa yang bisa dibawa dan berapa yang nanti
ditinggalkan.
Kepanikan mulai melanda. Terbayang
berapa biaya ekstra bagasi yang mesti kutanggung. Tapi setelah
kutimbang-timbang. Menjalankan amanah melebihi harga dari ekstra bagasi.
Dengan niat baik. Alhamdulilah. Cuma
dikenakan Rp 350 ribu.
Turun di Jakarta, perjalanan 3 koli
karung mulai menemukan petualangannya.
Akupun mulai berfikir keras. Turun
ditengah jalan dengan membawa 3 koli karung memerlukan perjalanan panjang.
Biasanya aku naik Damri namun tidak mungkin lagi kulakukan. Sudah seharusnya harus
mulai naik taksi. Sebuah kemewahan yang sudah lama tidka kurasakan.
Dengan naik taksi dibandara di jam
sibuk tentu saja memerlukan ekstra.
Turun di Kantor Walhi, kutitipkan
disana. Selain memang belum berencana segera ke Banjarmasin karena adanya
agenda di Jakarta. Akhirnya barang ini sempat “ngendon” selama 4 hari di Eknas
Walhi.
Mulai senin, mulai berhitung. Siapa
saja yang mesti berangkat ke Banjarmasin. Dengan kalkulasi harus 4 orang yang
mengangkut barang sehingga aman dari ekstra bagasi menimbulkan masalah
tersendiri.
Akhirnya disepakati hari rabu dengan
mengirimkan 2 koli karung dengna menitipkan 3 orang. Sengaja 1 koli akan saya
bawa sendiri dengan berbagi beban.
Menaik maskapai Garuda dengan ekstra
bagasi hingga mencapai 18 kg kemudian membengkak menjadi Rp. 515 ribu.
Waduh. Ini sih seperti tiket baru.
Tapi sudah keburu bawa barang ke bandara dan tidak mungkin dibawa kembali.
Akupun bergegas membayar.
Keesokan harinya, malah aku cuma
kelebihan bagasi 8 kg. Ya. Cuma 143 ribu.
Dengan melihat perjalanan panjang 3
koli karung yang berisikan kaos dan Mug, akupun berfikir ulang.
Alangkah mahalnya perjalanan panjang
3 koli karung. Namun apabila kutimbang-timbang, perjalanan 3 koli karung justru
adalah amanah yang tidak cuma sekedar dihitung dengan sejumlah ongkos ekstra
bagasi.
Menyampaikan barang hingga ke tempat
tujuan itulah harga tidak ternilai dari sebuah amanah. Amanah dari teman yang
sudah mempercayakan perjalanannya.
Terima kasih, Brow.. Barang sudah
sampai. Janji kutunaikan.
03 Mei 2018
opini musri nauli : MAKNA KEDATANGAN IMAM BESAR AL AZHAR
Disela-sela
pertemuan High
Level Consultation of World Moslem Scholars on Wasatiyyah Islam di Bogor, 1-4
Mei 2018, Grand
Syaikh Al Azhar, Mesir, Prof. Dr. Ahmed Al Thayyeb (sering juga disebut Mufti
Al Azhar atau Imam Besar Mesjid Al
Azhar) menyempatkan diri datang ke PBNU. Pertemuan yang dimaknai sebagai “pentingnya”
agenda silahturahmi ke PBNU dalam rangkaian perjalanan di Indonesia.
Tentu
saja, sebagai tokoh yang paling berpengaruh didunia Islam, peran Imam Besar Al
Azhar[1]
tidak dapat diabaikan saja. Al Azhar sebagai salah satu “kiblat” menghasilkan
intelektual islam yang mampu menjelaskan persoalan Ibadah dengan jalur dan
jejaknya hingga ke akarnya (nasab) hingga mampu menjelaskan Islam dengan wajah
teduh. Upaya yang jauh meninggalkan Arab Saudi yang kini “terseok-seok” hendak
membenahi dengan upaya modernisasi yang dilakukan Sang Putra mahkota.
KISAH SANG PENYAKSI
“Bang, Abang jadi Tim Panelis Debat
Publik KPU Jambi, ya”
Demikian pembicaraan diujung telp.
Sayapun
terhenyak. Saya yang merasa bukanlah apa-apa apabila dibandingkan dengan Tim
Panelis yang lain. Baik karena pengalaman maupun gelar akademik membuat saya
berfikir ulang.
Tema
yang diangkatpun adalah Hukum dan Lingkungan Hidup. Tema yang menurut saya
masih jauh disebut sebagai panelis.
“Abang selalu kritis dan paling
paham” kata sang penelphon terus
meyakinkan saya. Tanpa bermaksud untuk mengabaikan sarannya, saya kemudian
mengikuti proses menjadi Tim panelis Debat public KPU Jambi.
Mekanismepun
dijalani. Saya kemudian mengirimkan pertanyaan kepada tim untuk dibahas. Dan
pertanyaan itulah yang kemudian saya sodorkan kepada Moderator pada saat hari
H.
Sebelum
dilaksanakan acara hari H, kamipun berkumpul. Di Rumah Makan di sipin ujung.
“Temanya sih, simulasi dengan
Moderator”. Bak kata Orang
melayu Jambi. “Tak kenal maka tidak sayang”.
Demikian kata sang punya hajat acara.
Sayapun
kemudian mengenal Sang Moderator. Anak SMP 7 Negeri Jambi. Dan Bang Amri Amir (Ketua
Tim Panelis) kemudian menyambar. “Ya.
Kita satu Alumni’.
Untuk
mengukur “masih ada Jambi atau tidak”,
Berbagai celetukan khas Jambi disampaikan. Sekalian menguji “apakah dia anak Jambi atau tidak’.
Hampir istilah Jambi disambar dengan cepat sang moderator. Entah dengan Bahasa Tempoyak,
sembari “kick” balik dengna khas anak Jambi. “oh. Ternyata anak Jambi tokh”. Kamipun lega. Khawatir issu ini
akan disambar dan menjadi tema tersendiri. Sembari hendak bubar, kamipun
berphoto sejenak. Ya. Sekedar untuk kenang-kenangan. Tidak terfikir akan
menjadi kenangan yang penting.
Usai
debat public Pilwako Jambi, bukan tema yang disampaikan para candidate yang
bersilewaran di media massa yang paling menarik perhatian saya. Tapi sang “Host’
yang “Dianggap lebih nasional” daripada “Host Jambi’.
Sayapun
“tergelitik” untuk nimbrung.
Pertama.
Menempatkan tokoh nasional baik di Tim Panelis maupun host moderator adalah “Kekeliruan”
mental “underminded’ yang masih kuat dikalangan masyarakat. Cara ini haruslah
ditinggalkan. Selain “yang paling paham” masalah daerah, ya orang Daerah itu
sendiri, juga cara ini sudah harus ditinggalkan.
KPU
Jambi sudah meninggalkan tradisi ini. Dengan menempatkan “orang-orang Jambi”, KPU
Jambi justru “mempercayakan” orang Jambi yang membicarakan Jambi. Cara ini
lebih unggul karena karena setiap detail nafas Jambi masih dalam ingatan
kolektif para tim Panelis. Data-data yang diperlukan hanya memperkuat analisis
pembahasan. Tidak perlu lagi “tracking’ ataupun menduga-duga mengenai persoalan
Jambi.
Selain
itu, seluruh para candidate pastilah dikenal baik oleh Tim Panelis. Baik latar
belakang sebelumnya, jejak politik, pandangan politik maupun berbagai ucapan di
media massa. Cara ini berhasil “Mengepung” para candidate terjebak dengan
jawabannya sendiri.
Saya
saja sering-sering senyum simpul mendengarkan jawaban dari para candidate.
Alhamdulilah.
Tim Panelis berhasil “memberikan pertanyaan” yang hingga akhir tidak mampu
dijawab dengan tuntas oleh para candidate.
Kedua.
KPU Jambi justru mengangkat “putri Jambi” yang sukses di tingkat nasional. Saya
justru mendapatkan penjelasan dari tim KPU ketika saya bertanya siapa “host”
acara tersebut.
Sebelum
kedatangan Host yang dimaksudkan, Tim KPU Jambi dengan enteng menyampaikan. “Orang
Jambi-lah bang”.
Nah.
Makanya ketika kedatangan host ditemani teman sekolahnya di Jambi, joke-joke Bahasa
Jambi sengaja dikemukakan agar menguji “Orang Jambi’. Dan akhirnya sayapun
lega.
Ketiga.
Sebaiknya perbanyak tabayun untuk menentukan siapakah “Host”. Jangan
mentang-mentang sudah berkiprah di nasional malah langsung disebut “host”
nasional dan meminggirkan host Jambi.
Bukankah
masih ada akses di KPU Jambi untuk memastikan “siapa sih host” ?. Khan lebih
enak ditanyakan langsung daripada publish di public.
Bukankah
host yang sekolah di Jambi, masih punya kawan di Jambi, masih fasih Bahasa Jambi
masih disebut anak Jambi.
Yang
keliru, apabila kita justru menganggap “orang
nasional” yang pantas menjadi Tim Panelis debat public dan “terkesan keren”.
Atau
memuja kepala Daerah yang tidak pernah lahir, sekolah, kawin di Jambi setinggi
langit.
Tapi
sudahlah. Sayapun teringat kata ujaran bijaksana dari Kampung. “Raja turun singgana, pergilah betapa’.
“Mungkin adek lelah, ya”. Kata Putra terkecil kalo disuruh balas SMS.
Dan lebih suka video call Whattapp.
22 April 2018
opini musri nauli : PAN JAMBI PASKA ZUMI ZOLA
Suasana
politik PAN Jambi paska Zumi Zola (Ketua PAN Jambi) setelah ditahan menimbulkan
berbagai prediksi. Bagaimana nasib PAN Jambi setelah digantikan pejabat PAN
Jambi oleh H. Bakri.
21 April 2018
DEBAT PUBLIK PILWAKO JAMBI
Mengikuti
riuh Debat public Pilwako Jambi 2018 (Pilwako) menarik untuk diikuti. Kesempatan
untuk mendengarkan gagasan, melihat cara penyampaian hingga berbagai Pernik-pernik
selama acara berlangsung menjadi kesempatan untuk mengukur kualitas dari para candidate.
Terlepas
dari materi yang disampaikan yang masih menyisakan tanya, gaya (sytle),
karakter, tekanan nada, cara mengayun forum menarik untuk diikuti.
Sebagai
“ajang” debat public Pilwako, para kandidat “menonjolkan” gaya personal yang
diharapkan dapat mempengaruhi public untuk memilih. Namun “organisasi”, jam
terbang, penguasaan materi membuat materi debat kandidat menjadi pelajaran
demokrasi di Jambi.
Keempat
kandidat (dua pasang calon) dilahirkan dari latarbelakang yang berbeda-beda.
Abdullah Sani yang berlatar belakang Dosen dan menjadi penceramah, unggul
didalam membangkitkan emosi dan penguasaan kata.
Tagline
“satu” begitu menggema dalam closing statementnya. Ingatan saya tertuju di
papan mesin penghitung waktu. Dengan durasi hampir 60 detik, “kata satu’ mampu
menghipnotis dan menjadi relevan sebagai pengingat nomor satu.
Tagline
“satu” begitu menyihir. Mampu membangkitkan emosi pendengar. Dengan penguasaan
kata “satu’, penguasaan kata menjadi ukuran sebagai penceramah ulung.
Sementara
Kemas Alfarizi (Izi) piawai “memainkan” forum dengna gaya khas anak muda.
Lihatlah dengan guyonan “mengajak” tenang para kandidat Nomor 2 untuk
menyampaikan gagasan agar tidak terburu-buru. Entah beberapa kali, cara ini
dimainkan dan mampu membuat penonton tertawa.
Belum
lagi khas anak muda yang menyerahkan mic ketika sudah menyampaikan pada
pandangannya. Padahal Izi pasti mengetahui, kedua candidate sudah disiapkan
microphone untuk berbicara.
Gaya
“memainkan” forum adalah materi yang dikuasai didalam pelatihan organisasi.
Dengan gaya “memainkan forum”, sang pemateri mampu mengendalikan forum.
Gaya
kocak, mengendalikan forum, mengayunkan emosi lawan adalah tipikal khas anak
muda yang mampu menyelesaikan perbedaan pandangan dengan guyon. Gaya ini akan
terasa apabila interaksi dan dialog dilakukan terus menerus.
Diibaratkan
pertandingan sepakbola, gaya meliuk-liuk sering dipertontonkan Lionel Messi
dalam pertandingan. Dengan “meliuk-lik” memainkan bola, konsentrasi lawan
menjadi buyar. Dan kendali permainan susah ditebak dan dikendalikan Messi.
Tidaklah
salah cara yang dimainkan Izi melambangkan kematangan karakter Izi yang matang
menjadi anggota DPRD Kota Jambi. Pesona Izi memang matang dan menjadi harapan
anak muda masa depan.
Berbeda
dengan paslon nomor 1. Paslon no 2 kaya data. Menyampaikan gagasan dengan
sistematis dan analisis mendalam. Dengan kekayaan data, paslon nomor 2 ditambah
gelar prestisius akademik, gagasannya ilmiah dan mampu membalik keadaan.
Datanya
cukup detail dan cara penyampaiannya cukup sederhana mudah ditangkap oleh
kalangan umum. Setiap ucapan, pemikiran, programnya menjadi terukur dan dapat
diaplikasi.
Dalam
pertandingan sepakbola, gaya permainan ini sering diperagakan oleh Tim besutan
Morinho. Morinho cukup paham dengan karakter pemain lawan, melihat video-video
pertandingan sebelumnya, mampu kulkasi menghitung sekian persen kemenangan.
Sehingga
tidak salah walaupun kemenangan diraih, kadang kala Morinho justru mengkritik
timnya yang dianggap tidak berkembang dan lambat meraih peluang.
Paparan
kedua kandidat paslon 2 menampakkan penguasaan dan pengolahan data, cara
penggunaan kalimat yang menyodok lawan, menyampaikan secara sistematis dan
runut.
Closing
statemen yang memuat kata tagline “dua” melambangkan gaya orator yang menguasai
panggung. Tagline dua menampakkan kosakata yang bombastis.
Gaya
ini adalah interaksi intelektual yang terus diasah dalam dialog-dialog.
Tentu
saja kita tidak bisa memperbandingkan antara gaya permainan Lionel Messi dengan
tim besutan Morinho. Memperbandingkan gaya permainan antara Spanyol dengan
Italia atau Spanyol dengan Inggeris atau Spanyol dengan Jerman adalah seni
tersendiri untuk menangkap karakter perbedaan gaya permainan.
Namun
kesempatan menjadi penyaksi dari hajatan besar di Jambi adalah kehormatan
sekaligus menjadi penilaian tersendiri bagi saya.
Salam
demokrasi.
17 April 2018
opini musri nauli : KISAH PADI DAN HANDPHONE
Lha,
apa pula hubungan Padi dan handphone (HP) ?. Apakah padi akan tumbuh apabila
dihubungkan dengna HP. Atau penjualan padi menggunakan HP.
Mari
kita telusur kisah padi dan HP.
Dengan
terburu-buru saya turun dari GRAB (angkutan aplikasi), sebuah perusahaan yang
sukses “aneksasi” UBER baru-baru ini. Mengingat jam yang mulai larut, saya
kemudian “bergegas” tanp ba-bi-bu.
opini musri nauli : HERO TO ZERO
Setelah
melalui proses yang panjang, akhirnya KPK menahan Gubernur Jambi, Zumi Zola
Zulkifli (ZZ). Proses panjang setelah peristiwa OTT KPK sejak 28 November 2017.
Bak
istilah Melayu Jambi. “Drama telenovela”. Mendayu-dayu. Tidak lupa dibumbuhi
air mata, teriakan panjang. Proses yang sempat memantik polemic, ketika ZZ
sempat membuka acara Monitoring dan Evaluasi Rencana Aksi Program Pemberantasan
Korupsi Terintegrasi di Provinsi Jambi.
08 April 2018
opini musri nauli : MENS SANO IN CORPORE SANO
MENS SANO IN CORPORE SANO
Didalam tubuh yang sehat terdapat
jiwa yang kuat
Betul
yang disampaikan oleh photographer. Sebuah gambar mewakili seribu makna.
Lihatlah
gambar Presiden Jokowi dengan kemeja belel “gaya Dilan” mengendarai motor
Royal Enfield Bullet 350 cc bergaya chopper miliknya di jalan raya dari kantor
Kecamatan Bantar Gadung dengan titik akhir Pesanggrahan Tenjo, Pantai Pelabuhan
Ratu. Jarak tempuh jalur yang dilalui Jokowi dan rombongan sekitar 30
kilometer.
Karya Barbara Watson Andaya dan Kegembiraan Sebagai Pembaca
Ketika menerima undangan dari Seloko Institute yang menginisiasi bedah buku “To live as Brothers: Southeast Sumatra in The Seventeenth and Eighteenth Centuries” karya Prof. Barbara Watson Andaya, 28 Maret 2017, pikiran saya langsung berkecamuk.
Langganan:
Postingan (Atom)