Putusan MK tentang
Pemilihan Umum mengenai Caleg (Pileg) dan Pemilihan Presiden
(pilpres) sudah diketok. MK mengabulkan permohonan yang
disampaikan oleh Effendi Gazali yang menginginkan agar Pemilu
diadakan untuk Pileg dan Pilpres. Namun kemudian MK “memerintahkan”
agar putusan ini tidak dilaksanakan untuk tahun 2014. Tapi untuk
tahun 2019.
Hukum adalah norma, aturan yang bertujuan menciptakan keadilan. Hukum adalah jiwa yang bisa dirasakan makna keadilan. Makna keadilan adalah jiwa yang senantiasa hidup dan berkembang.. Dari sudut pandang ini, catatan ini disampaikan. Melihat kegelisahan dari relung hati yang teraniaya..
23 Januari 2014
opini musri nauli : MELIHAT WAJAH ANGEL LELGA
Melihat tayangan youtube
wawancara Najwa Shihab dengan calon politisi Angel Lelga dalam acara
“Mata Najwa” memang menarik perhatian kita. Melihat kepiawaian
Najwa Shihab “memborbardir” Angel Lelga seakan-akan kita melihat
Guru Sekolah Dasar yang “memaksa” anak harus mengakui karena
salah menulis ejaan kata namanya. Atau apabila kita lihat didalam
film televisi “law and order”, para tersangka “terdiam”
ketika para penyidik mengeluarkan satu persatu bukti atau photo
tentang keterlibatannya.
21 Januari 2014
Jambi di Ambang Macet. Masyarakat Bisa Class Action
PERMASALAHAN tata ruang Kota Jambi dan Provinsi Jambi, telah timbul sejak beberapa tahun lalu. Ini telah diakui dalam rencana tata ruang dan wilayah, termasuk persoalan ruang parkir di pinggir jalan yang tidak representatif.
Ketika muncul persoalan, semisal kecelakaan di jalan raya yang disebabkan tidak ada ruang parkir, masyarakat sebenarnya bisa melakukan gugatan ke pemerintah. Hanya saja dalam undang-undang lalu lintas tidak mengatur itu. Bisa saja masyarakat mengajukan gugatan class action.
18 Januari 2014
opini musri nauli : KRIMINOLOGI DAN KPK
Setiap KPK mulai melakukan penangkapan dan penahanan
terhadap sebuah kasus, tudingan miring mulai disuarakan. KPK dituduh melakukan
“tebang pilih”, KPK mempolitisasi kasus, ada permainan politik di KPK dan
berbagai tuduhan yang cukup serius ditujukan kepada KPK.
Tuduhan KPK “mempolitisasi” kasus sering dilontarkan
para politisi yang melihat kinerja KPK yang terus “memburu” para penguasa
negeri yang melakukan korupsi. Tuduhan itu dilontarkan ketika KPK satu demi
satu mengeluarkan bukti-bukti keterlibatan dan para politisi “sulit mengelak”
terhadap tuduhan KPK.
opini musri nauli : INTELEKTUAL DAN KEKUASAAN
Penulis kaget ketika
disodori pertanyaan. Apakah dibenarkan seorang intelektual kemudian
“merapat” kepada kekuasaan ?
Wah. Pertanyaan ini lebih
tepat dikategorikan sebagai “gugatan” terhadap praktek
para intelektual yang kemudian “sudah merapat kepada kekuasaan”.
opini musri nauli : MEMPERSOALKAN COVER DARIPADA ISI (Ketika Petinggi Negeri Marah-marah)
Saat hendak pulang
penulis dari peluncuran buku “PELANTA – organisasi penulis di
Harian Jambi Ekspress”, penulis mendapatkan short message
servise (SMS) dari teman penulis di Pelanta. Isinya cukup
mengganggu. “Kando. Buku Pelanta dapat protes keras dari
Petinggi di Propinsi Jambi”.
17 Januari 2014
opini musri nauli : MK dan Pasal 335 KUHP
Beberapa hari yang lalu,
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI selanjutnya sering
disebut dengan istilah MK) telah memutuskan mengenal pasal 33 KUHP.
Putusan ini menarik perhatian kalangan dunia hukum selain karena
pertimbangan yang disampaikan oleh MK, putusan ini akan banyak
mewarnai dunia penegakkan hukum di Indonesia (law enforcement).
11 Januari 2014
opini musri nauli : ANAS - Hero to Zero
Usai sudah perjalanan
politik Anas Urbaningrum (AU). Setelah sempat digadang-gadang
“pemimpin masa depan”, “calon Presiden masa depan”, AU
kemudian ditetapkan sebagai tersangka dan kemudian “ditahan”
KPK.
09 Januari 2014
opini musri nauli : MEMBACA STRATEGI ANAS
Beberapa
hari ini kita disuguhkan “kampungan”, “murahan”, “norak”
yang mendayu-dayu terhadap pemeriksaan Anas Urbaningrum (AU) sebagai
tersangka. Pemeriksaan AU sebagai tersangka “ditunggu”
kehadirannya di KPK. Hingga panggilan kedua, AU ternyata tidak
datang.
07 Januari 2014
opini musri nauli : Pasal Penyebar kebencian
PASAL
PENEBAR KEBENCIAN
...
bukan 1915, 1918, apalagi 1946, sebagaimana kebanyakan literatur
hukum pidana di Indonesia mengutip. Tetapi, 7 Januari 1914, persis
seabad yang lalu, haatzaai artikelen (pasal penebar kebencian)
diperkenalkan ke tanah Hindia Belanda, melalui pasal 63a dan 63b.
Aturan yang dibuat di s-Gravenhage/Den Haag itu adalah Koninklijk
Besluit no. 28, Staadsblad van Nederlandsch-Indies No. 205, soal
amandemen Wetboek van Strafrecht voor Europeanen in
Nederlandsch-Indie. 12 Februari 1914, kemudian AWF Idenburg (Gubernur
Jenderal) menyusupkan pasal itu ke WvS v Ned. Indies, melalui pasal
66a dan 66b. Yang membedakan di dua aturan itu cuma satu:
diskriminasi hukuman buat kaum pribumi kerja paksa dengan rantai di
tubuhnya.
Status
Facebook dari Herlambang P. Wiratraman, Presiden Asosiasi Filsafat
Hukum Indonesia menarik penulis. Dengan sedikit “menggugat”
- kesan yang penulis tangkap, Herlambang “mempersoalkan”
mulai diterapkannya pasal-pasal haatzaai artikelen (pasal penebar
kebencian) bukan tahun 1915, 1918 tapi 7 Januari 1914. Persis
“seabad” yang lalu.
Langganan:
Postingan (Atom)