Melihat
sepak terjang KOMBES Krishna Mukti (Dirkrimum Polda Metro Jaya), AKBP Dedi
Tabrani (Kapolsek Menteng) dan AKBP Untung Sangaji (Pamen Pusdik Polair)
mengingatkan adegan film laga Hollywood. Pertempuran gerilya di kota antara
Polisi dengan “gengster” penguasa narkoba yang menembaki membabi buta ke arah
kerumuman massa. Dalam adegan “Bad boys” yang kemudian membuat pemeran Detektif
Mike Lowrey (Will Smith) dan Detektif Marcus Burnett (Martin Lawrence) menjadi
Home Box Office dan meraih platinum. Film bahkan melahirkan seri sekuel tahun
2003.
Hukum adalah norma, aturan yang bertujuan menciptakan keadilan. Hukum adalah jiwa yang bisa dirasakan makna keadilan. Makna keadilan adalah jiwa yang senantiasa hidup dan berkembang.. Dari sudut pandang ini, catatan ini disampaikan. Melihat kegelisahan dari relung hati yang teraniaya..
17 Januari 2016
12 Januari 2016
opini musri nauli : JOHAN BUDI DAN ISTANA
Mendapatkan kabar dari Istana tentang pengangkatan
Johan Budi sebagai Jurubicara istana mengingatkan saya dengan tulisan setahun
yang lalu, ADU STRATEGI JOHAN BUDI DAN BOY AMAR.
Tulisan setahun lalu ditujukan
terhadap kedua orang sebagai jurubicara dari kedua lembaga yang sedang
hot-hotnya (Johan Budi/KPK dan Boy
Amar/Mabes Polri) bertikai.
Persetuan KPK vs Polri setelah penetapan Komjen
Budi Gunawan sebagai tersangka oleh KPK. Terlepas dari polemic, kedua peran
sentral memang tidak bisa dipisahkan dari keduanya. Keduanya “sedikit adem” meladeni wartawan sehingga
konflik KPK vs Polri kemudian berhasil dilewati.
05 Januari 2016
Al Haris minta SAD Peluk Agama Islam. Musri Nauli : Jangan Ada paksaan
Bupati Merangin Propinsi Jambi, Al Haris, meminta
Kementerian Agama (Kemeneg) Kabupaten setempat agar mengagamakan warga Suku
Anak dalam. Dengan beragama, Al Haris berharap SAD bisa berbaur dan hidup
berdampingan dengan warga Desa.
Atas permintaa ini, Kepala Kantor Kemenag Kabupaten
Merangin, Zostavia, menyatakan sangat mendukung keinginan Bupati. Dia berjanji
akan melakukan pembinaan beragama kepada
warga SAD di wilayahnya.
opini musri nauli : MEDIA MAINSTREAM DAN CITIZEN JURNALISM
Memasuki
awal tahun, kita menyaksikan ditutupnya Sinar Harapan, salah satu media yang
menghiasi bacaan public sejak tahun 1961. Sinar Harapan tidak mampu lagi
“bersaing” dengan media massa lainnya sehingga tidak berhasil mendapatkan iklan
dan oplah untuk menutupi biaya produksi. Sinar Harapan mengikuti jejak harian
Bola (31 Oktober 2015) dan soccer yang tutup tahun 2014.
Di media internasional, majalah
Newsweek tutup tahun 2012 setelah terbit selama 80 tahun lebih. Newsweek
kemudian beralih ke online.
Bahkan The Washington Post, harus
dijual karena masalah finansial. Padahal The Washington Post melalui
investigasinya oleh Ben Bradlee, terkenal membongkar skandal Watergate sehingga
menggulingkan Presiden Richard Nixon. Hasil investigasi kemudian The Washington Post meraih Hadiah Pulitzer
pada 1974.
Penutupan
media cetak yang handal puluhan tetap menarik perhatian public. “Berkuasanya”
media electronic dan semakin massifnya media online ternyata “membuat’ media
cetak mulai berfikir untuk “bertahan”. Dengan kemajuan teknologi, berbagai
berita mudah diakses dengan satu kali “klik”. Kecepatan, keakuratan hingga kemudahan
akses mendapatkan berita, membuat media cetak kemudian harus “ikut” dalam
pertarungan media online.
Media
online kemudian didatangi pemain baru. Citizen journalism.
Namun
sebagai pemain baru, citizen journalism membuat kehadirannya “cukup
diperhitungkan. Dengan melaporkan peristiwa “langsung” dari lapangan, memotret
lebih dalam, reportase warga, hingga “rasa” peristiwa dari lapangan membuat
citizen journalism menjadi pemain yang cukup diperhitungkan. Belum lagi
berbagai media cetak dan elektronik yang menyiapkan kolom “citizen journalism”
membuat media mainstream memperhitungkannya.
Berbeda
dengan laporan jurnalistik oleh jurnalis, citizen journalism membuat berita
lebih renyah, ringan namun tetap dalam dari laporan lapangan. Dengan “hati’ dan
kedalaman reportase, citizen journalism membuat tulisan menjadi “bernyawa” dan
membumi. Pembaca “seakan-akan” berada di lokasi, merasakan “suasana” tulisan,
emosi yang terbangun membuat tulisan “tidak berjarak” dengan reportase. Belum
lagi kekaguman pembaca dengan “relawan” citizen journalism yang “menulis” tanpa
mengharapkan pamrih, menyediakan waktu, menggunakan fasilitas sederhana namun
tetap menggigit.
Tentu
kita masih ingat ketika terjadi Tsunami di Aceh ahun 2004 dari hasil ‘shooting’
dari seorang warga yang meliput datangnya tsunami dan masuk ke kota. Dari
kejauhan (shooting di teras lantai dua), setiap detail datangnya air laut
dengan jelas dipaparkan oleh hasil shooting. Hasil reportase
kemudian”mengalahkan” media nasional dan kemudian menjadi berita yang paling
heboh dan masyarakat melihat “betapa dahsyatnya” tsunami di Aceh. Atas
reportase, maka rakyat Indonesia kemudian “bersatu padu” memberikan dukungan
terhadap korban di Aceh.
Begitu
juga “penangkapan” Susno Duaji dibandara yang berhasil “direkam” oleh warga dan
kemudian dimuat di salah satu televisi nasional. Direkamnya proses penangkapan
Susno Duaji di televisi menjadi headline dan mengalahkan televisi yang lain.
Belum lagi berbagai liputan “langsung” dari warga berbagai musibah seperti pesawat jatuh, control public terhadap berbagai pelayanan hingga berbagai peristiwa lucu yang terjadi di tengah masyarakat.
Dengan
semakin “pentingnya” kehadiran citizen journalism, hampir setiap media
mainstream membuat acara khusus untuk menarik minat penonton. Ratingnya cukup
baik.
Kehadiran
“citizen journalism” tidak bisa dihindarkan sebagai bentuk “pelibatan” public dalam
setiap peristiwa yang terjadi di sekitarnya. Media mainstream tidak bisa
mengabaikannya. Bahkan media mainstream harus memperhitungkan kehadiran di
tengah semakin baiknya dukungan dari public untuk “terlibat” dalam peristiwa
dan semakin banyaknya ditutup media cetak.
Zaman
sudah berubah. Era digital “memakan korban’. Era digital membuat “dunia dalam
genggaman.
Siapa
yang mampu membaca tanda-tanda zaman maka akan bertahan. Sedangkan yang masih
bersikap konservatif dan “mencibir” kehadiran citizen journalism akan “terlindas”
oleh putaran zaman.
04 Januari 2016
opini musri nauli : Mengapa ke Gunung ?
Itu pertanyaan yang selalu disampaikan mulai dari
kuliah (waktu kuliah sering mendaki gunung) hingga sekarang.
Berbeda dengan keluarga besar lainnya yang
menghabiskan waktu menyambut tahun baru di pesta keramaian lengkap dengna
mercon, petasan, kembang api hingga berbagai acara kesenian dan makanan kebun
(barbeque), saya memutuskan menghabiskan tahun baru di Gunung. Syukur2
menyambut tahun baru di puncak gunung bersama-sama dengan teman-teman yang rela
menempuh perjalanan panjang di gunung.
opini musri nauli : Siapa Direktur Walhi 2016 - 2020 ? (Pernik-pernik menjelang PNLH)
Menjelang Pertemuan Nasional Lingkungan Hidup (PNLH-Kongres Walhi), suasana hiruk pikuk
menjelang PNLH mulai memantik pertarungan siapa yang menjadi Direktur Eksekutif
Walhi 2016-2020. Dari nama yang beredar yang sudah mendaftar, Nurhidayati (yaya), Pius Ginting (Pius) dan Arie Rompas (Rio). Ketiganya sudah mendeklarasikan
untuk bertarung menjadi “Walhi satu”.
Sebuah sign dan penamaan untuk Direktur Walhi.
30 Desember 2015
opini musri nauli : INTELEKTUAL TUKANG DI MENARA GADING
Kebakaran yang meluluhlantak
langit 5 Propinsi tidak hanya meninggalkan duka yang mendalam terhadap rakyat
yang terpapar asap. Dalam kurun Juli-September 2015,kebakaran sudah
menghanguskan 135 ribu hektar di Jambi. 80% titik api terletak di areal
perizinan perusahaan.
Namun fakta-fakta ini kemudian
dimanipulir untuk menutupi jejak borok korporasi. Desain awal mulai disusun
sembari tiarap melihat peluang menghilangkan jejak.
Istilah ‘Jambi Kota Seberang’ Ternyata Dibuat Sejak Zaman Walikota Arifien Manap
Inilahjambi, KOTA JAMBI – Istilah ‘Jambi Kota
Seberang’ untuk menyebut kawasan di seberang Sungai Batanghari, yang
sejak dulunya disebut ‘Jambi Seberang’ atau ‘Seberang Kota Jambi’
ternyata telah diputuskan sejak zaman Walikota Arifien Manap.
Informasi itu dikatakan oleh salah seorang PNS Kota Jambi, Hasya Yanto dalam komentarnya di media sosial.
Menurut dia, saat itu pembahasan juga melibatkan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Jambi (Bappeda). Saat itu, Hasya Yanto mengaku masih berdinas di instansi tersebut, sebelum dirinya pindah ke berbagai SKPD lain di Pemkot Jambi.
“Itu (perubahan nama) sudah dibahas/ditetapkan sejak zaman Walikota Pak Arifien Manap. Saya lupa tahunnya. Saat itu saya masih di Bappeda,” tulis dia, Senin 28 Desember 2015.
Dasar pikir penggantian nama itu, lanjut Hasya Yanto, karena istilah Seberang Kota Jambi seolah-olah memisahkan Seberang Kota dengan Kota Jambi.
“Perubahan kata ke Jambi Kota Seberang untuk menghilangkan imej seolah-olah Seberang tidak sejajar dengan Kota Jambi seberang sini. Alhamdulillah, saat ini pembangunan Kota Jambi Seberang sudah semakin pesat, tidak ada yg harus dipertentangkan,” katanya.
Hasya Yanto yang akrab disapa Totok itu mengaku mengikuti diskusi yang berkembang di media sosial sejak beberapa belakangan ini soal nama tersebut.
Dia menyatakan, jika nama itu dipersoalankan lagi, karena tidak sesuai dengan perkembangan zaman dan menjadi perhatian banyak ahli, maka sudah selayaknya dibahas kembali.
“
Tidak salah juga dirembuk lagi dengan melibatkan ahli sejarah dan ahli bahasa Indonesia,” tutupnya.
Sebelumnya, ahli sejarah (sejarawan) dan penulis sekaligus advokad senior, Musri Nauli, menyatakan, istilah itu tidak sesuai dengan sejarah dan hukum bahasa Indonesia (DM).
(Nurul Fahmy)
Menurut dia, saat itu pembahasan juga melibatkan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Jambi (Bappeda). Saat itu, Hasya Yanto mengaku masih berdinas di instansi tersebut, sebelum dirinya pindah ke berbagai SKPD lain di Pemkot Jambi.
“Itu (perubahan nama) sudah dibahas/ditetapkan sejak zaman Walikota Pak Arifien Manap. Saya lupa tahunnya. Saat itu saya masih di Bappeda,” tulis dia, Senin 28 Desember 2015.
Dasar pikir penggantian nama itu, lanjut Hasya Yanto, karena istilah Seberang Kota Jambi seolah-olah memisahkan Seberang Kota dengan Kota Jambi.
“Perubahan kata ke Jambi Kota Seberang untuk menghilangkan imej seolah-olah Seberang tidak sejajar dengan Kota Jambi seberang sini. Alhamdulillah, saat ini pembangunan Kota Jambi Seberang sudah semakin pesat, tidak ada yg harus dipertentangkan,” katanya.
Hasya Yanto yang akrab disapa Totok itu mengaku mengikuti diskusi yang berkembang di media sosial sejak beberapa belakangan ini soal nama tersebut.
Dia menyatakan, jika nama itu dipersoalankan lagi, karena tidak sesuai dengan perkembangan zaman dan menjadi perhatian banyak ahli, maka sudah selayaknya dibahas kembali.
“
Tidak salah juga dirembuk lagi dengan melibatkan ahli sejarah dan ahli bahasa Indonesia,” tutupnya.
Sebelumnya, ahli sejarah (sejarawan) dan penulis sekaligus advokad senior, Musri Nauli, menyatakan, istilah itu tidak sesuai dengan sejarah dan hukum bahasa Indonesia (DM).
(Nurul Fahmy)
Baca : Jambi Kota Seberang
http://www.inilahjambi.com/seberanag-jambi-5/
29 Desember 2015
opini musri nauli : MENULIS BEBAS NAMUN BERTANGGUNGJAWAB
Dunia
maya dikejutkan dengan ditangkapnya Yulianus Paonganan alias Ongen yang memuat
kalimat “Papa minta Lo***” dalam akun
twitternya @ypaonganan. Dengan mengutip kalimat “Papa minta Lo***” dan menyandingkan dengan photo Jokowi dengan
Nikita Mirzani sudah jelas menampakkan pesan maksud dari sang twitter. Jokowi
dituduh ingin minta Lo*** dan terus
retwitted sebanyak 200 x.
Melihat
profile dan kiprah Ongen, Ongen tidak sembarangan. Punya latar belakang
pendidikan di bidang kelautan, mempunyai lembaga riset yang dinamakan
Indonesian Maritim Institute, mempunyai majalah Kemaritiman, membuktikan Ongen
adalah manusia terpelajar bidang kelautan. Bidang yang ditekuni hingga mencapai
gelar akademik tertinggi. Doktoral. Sehingga penangkapan dan penahananya akibat
twitternya tidak dapat disamakan “pengekangan hak bicara (freedom of speech), sebuah cara untuk melepaskan tanggungajawab
Ongen dari proses hukum.
28 Desember 2015
opini musri nauli : CARA MELAWAN AHOK
Akhir-akhir
media massa menyoroti langkah “Teman Ahok”
yang mencapai 533.374 KTP. Melewati syarat minimum pengumpulan KTP untuk calon
perseorangan 525 ribu KTP.
Capaian
525 ribu oleh “Teman Ahok” telah
direvisi oleh MK yang semula menetapkan 7,5 % jumlah penduduk. Dengan jumlah
7,5 % jumlah penduduk, maka “Teman Ahok” harus bekerja untuk mengumpulkan 937
ribu KTP. Putusan ini telah sesuai dengan UU No. 8 Tahun 2015 tentang Pilkada.
Langganan:
Postingan (Atom)