Dalam
sebuah acara di Jambi, mantan Ketua KPK-RI 2011-2016, Abrahaman Samad (AS) menceritakan
tentang Dinasti Politik yang “berbau” korupsi. Berbagai dinasti Politik yang
kemudian berujung dalam skandal kasus korupsi dipaparkan.
Di
Amerika dan di India, dinasti politik mewarnai politik. Keluarga Gandhi ataupun
Kennedy terus mewarnai politik kontemporer selama dasawarsa tertentu.
Di
Indonesia, keluarga Soekarno menjadi trah politik. Keluarga Soekarno dapat
menjadikan Presiden. Trah Soekarno terus menjadi nyawa partai politik.
Di
Jambi sendiri, dua orang besanan bahkan berbarengan dipenjara untuk
mempertanggungjawabkan kasus korupsi di persidangan. Walaupun dalam kasus yang
berbeda.
Namun
yang disesalkan oleh AS, bukan dinasti seperti di Amerika dan India yang memang
berkualitas, mempersiapkan diri jauh-jauh hari memasuki gelanggang politik. Dinasti
politik di Indonesia “dikerek” naik hingga berujung kasus korupsi. Selain tidka
berkualitas, dinasti yang dibangun cuma ikatan emosional. Bukan jaringan yang
kuat.
Kasus-kasus
korupsi yang berasal dari dinasti kemudian mengonfirmasikan terjadinya korupsi.
Ditengah
masyarakat, kepemimpinan tidak dapat dilepaskan dari cara pandang menghormati.
Seloko seperti “pohon beringin”, “pohonnya rindang. Tempat beteduh. Akarnya
tempat besilo. Dahannya tempat begayut’.
Cara menghormati pemimpin sering ditandai dengan seloko seperti “pegi tempat betanyo. Balek tempat beberito”. “Alam sekato Rajo. Negeri sekato bathin”. “Didahulukan selangkah. Dilebihkan sekato”.
Begitu
agungnya masyarakat menghormati pemimpin, maka kepemimpinan tidak dapat
dilepaskan dari “tuah’. Tuah dilihat dari jejak kepemimpinan, garis keturunan
bahkan “tuah” dilihat daripada cara kepemimpinan yang melewati masa krisis.
Tuah
itulah yang kemudian masyarakat memilih kepemimpinan.
Dalam
pemilihan Kepala Desa (pilkades) misalnya “kepemimpinan” tidak jauh dari lahir
keluarga besar kepemimpinan. Entah kakeknya pernah menjadi petinggi negeri
(tokoh adat, tokoh agama maupun tokoh masyarakat), pernah menjadi Depati atau
Rio, pernah menjadi Pesirah (Setingkat camat).
Alam
bawah sadar (alam cosmopolitan) yang menggerakkan masyarakat untuk memilih
kandidat tertentu berdasarkan “tuah”.
Tuah
tidak dapat diciptakan, direkayasa, dimanipulasi bahkan ditutupi. Berbagai
jejak kades yang terpilih, jejaknya dapat dilihat berdasarkan garis keturunan.
Entah kakeknya atau puyangnya yang pernah menjadi pembesar.
Alam
magis inilah yang terus menjadi ingatan kolektif masyarakat untuk melihat
Pilkades.
Didalam
pemilihan Pilkada, jejak tuah masih terus diingat oleh masyarakat. Garis
keturunan menjadi factor utama untuk melihat rekam jejak untuk memilih. “Tuah”
kepemimpinan terus dilahirkan.
Sebagai
orang yang dipilih untuk memimpin “berdasarkan tuah”, sikap menjadi pemimpin
terlihat jelas. Berbagai ujaran kebijaksanaan, cara melihat persoalan, tidak
memihak, bijaksana, tenang, kaya solusi adalah “tuah’ yang dilahirkan dari
garis keturunan. Tuah ini tidak mungkin ditemukan dari pemimpin yang tidak
dilahirkan dari tuah kepemimpinan.
Tuah
inilah yang menjadi ukuran dari masyarakat untuk memilih.
Sang
pemimpin yang dilahirkan berdasarkan tuah kemudian “mati-matian” untuk menjaga
nama baik keluarga besar. Dia bahkan rela untuk tidak menikmati kemegahan,
ataupun kemewahan karena jabatan pemimpin. Cara dia menjaga amanah kepemimpinan
“Semata-mata” untuk menjaga nama baik keluarga besarnya.
Jadi.
Walaupun “berdasarkan tuah”, kepemimpinan juga mengalami proses. Keluarga besar
“paling paham” siapa keluarga besar yang didorong untuk memimpin. Cara ini
biasa dikenal didalam rapat-rapat keluarga besar.
Dalam
interaksi dengan tokoh pemimpin, cucu yang sejak kecil bersama dengan kakeknya
yang dikenal “tuah” kepemimpinan biasanya lebih condong untuk didorong. Kedekatan
sejak kecil yang kemudian mengajarkan kepemimpinan akan menjadi “daya ingat”
kepada sang cucu. Pelajaran yang diterima setiap harilah yang menjadi “kekuatan
magis” ketika menjadi pemimpin.
Cara
ini saya temukan diberbagai Kepala Desa yang saya temukan. Cerita dari kampong justru
memperkuat “tuah” dari kepemimpinan.
Diberbagai
kisah Raja-raja Jawa, anak yang sudah berumur 8 tahun langsung dipisahkan dari
orangtua. Dengan digembleng ilmu kanuragan, ilmu kepemimpinan bahkan ilmu-ilmu
sastra, sang calon Raja telah mengalami berbagai ilmu kepemimpinan. Sehingga
ketika menjadi Raja diharapkan menjadi “Cahaya penerang” rakyat yang
dipimpinnya.
Dengan
melihat alur kepemimpinan, maka tuah kepemimpinan yang hidup dialam pemikiran
Melayu Jambi berbeda dengan Dinasti yang disampaikan oleh AS. Tuah kepemimpinan
justru mengagungkan “kehormatan keluarga”, jauh dari skandal, bersih dari
fitnah. Bahkan cara-cara yang dihinakan oleh masyarakat, sangat tabu dilakukan.
Advokat. Tinggal di Jambi
https://jamberita.com/read/2019/03/06/5948035/tuah-dan-dinasti/
-->https://jamberita.com/read/2019/03/06/5948035/tuah-dan-dinasti/