Sebagai
Advokat, maka seorang Advokat tunduk kepada UU Advokat dan Kode Etik Advokat.
Salah satunya, Advokat tidka boleh membedakan perlakuan terhadap klien
berdasarkan jenis kelamin, agama, politik, keturunan, ras dan latar belakang social
dan budaya (Pasal 18 ayat (1) UUAdvokat).
Namun
akhir-akhir ini, diskusi tentang isu “rasial” semakin meninggi dan terus
meningkat. Perbedaan agama bahkan latar belakang budaya menempatkan wacana yang
terus mengalir.
Entah
“dogma” agama yang kemudian menempatkan istilah perbedaan agama kemudian
semakin mengemuka. Dan wacana ini terus memprihatinkan.
Namun
yang justru “memperkeruh’, para politisi ataupun pihak-pihak yang menyuarakan
justru berangkat dari latar belakang advokat. Sebuah Profesi yang melekat dan
terus menerus menjadi bagian dan cara pandang Advokat didalam melihat
persoalan.
Salah
satu issu Tarik menarik yang paling “gress’ adalah issu “politisasi agama’ yang
disuarakan justru diluar persidangan. Tanpa harus mempengaruhi berbagai putusan
pengadilan, issu ini kemudian terus menggelinding. Dan argumentasi yang
disampaikan justru menempatkan para suara yang lantang keras menolak justru
berlatarbelakang Advokat.
Lihatlah.
Bagaimana argumentasi yang dibangun. Dengan alasan tema-tema tertentu, issu
khilafah terus disuarakan. Belum lagi “tuduhan” terhadap pelaku-pelaku yang
berlatarbelakang yang berbeda agama. Apalagi perbedaan budaya.
Padahal
seorang Advokat harus tunduk dan memegang teguh dan mengamalkan Pancasila
sebagai Dasar negara dan UUD 1945 (Pasal
4 ayat (2) UUD Advokat). Ikrar ini melekat ketika disumpah menjadi Advokat.
Sumpah
ini melekat yang menempatkan Advokat sebagai “Penegak hukum” (Pasal 5 ayat (1) UU Advokat).
Selain
itu, seorang Advokat yang masih “mempersoalkan” Cuti terhadap Kepala negara
sama sekali tidak mengetahui ketentuan yang berkaitan dengan “cuti” yang tidak
mesti dibebankan kepada Presiden. Tanpa harus menggurui, jabatan Presiden yang
melekat baik sebagai Kepala Negara maupun Kepala Pemerintahan kemudian diatur
didalam peraturan perundang-undangan maupun Peraturan KPU yang membuat Presiden
tidak dibenarkan untuk cuti. Esensi hukum Administrasi maupun fungsi sebagai
Presiden yang diatur didalam konstitusi. Selain juga, ada ketentuan didalam
peraturan perundang-undangan yang ‘sengaja” disembunyikan. Namun terus
disuarakan tanpa harus mengetahui esensi dari seorang Advokat.
Padahal
sebagai seorang Advokat, pemikiran dari Advokat diharapkan justru dapat
membantu “menjernihkan’ persoalan yang berlatarbelakang issu sensitive. Advokat
justru dapat membantu masyarakat untuk melihat perbedaan dan keanekaragaman di
Indonesia sebagai kekayaan nasional. Bukan justru memberikan “amunisi” yang justru
memperkeruh dan menempatkan seorang Advokat menjadi “kubangan” dari kekeruhan
yang terjadi.
Saya
kemudian harus menyampaikan, para suara lantang yang masih menyuarakan issu “khilafah’
ataupun masih berkeinginan menyembunyikan persoalan hukum dan justru
menempatkan seorang Advokat haruslah menempatkan diri.
Segera
menyadari Sumpah ketika diikrarkan sebagai Advokat di Pengadilan Tinggi. Atau
segera mengundurkan diri dari Advokat.
Sehingga
profesi Advokat dapat ditempatkan sebagai Profesi yang luhur (officium Nobile). Yang membantu para
pencari keadilan. Bukan ikut “memperkeruh” keadaan tanpa menyadari esensi
sebagai Advokat.