Akhir-akhir
ini, issu izin lingkungan hidup menarik perhatian public disaat menyaksikan
“drama kolosal” PT. Semen Indonesia (kasus Rembang). Publik dikejutkan dengan Gubernur Jawa Tengah kemudian
harus melakukan “mencabut” izin lingkungan kepada PT. Semen Indonesia di
Rembang. Namun tidak berselang waktu begitu lama, Gubernur Jawa Tengah kemudian
menerbitkan izin lingkungan (dengan perbaikan varian tertentu. Seperti luas
areal, perubahan nama perusahaan).
Sikap yang diambil Gubernur
Jawa Tengah menggambarkan “perilaku” sebagian elite dan kalangan hukum yang
masih memandang sebelah mata tentang “izin lingkungan”.
Pandangan dan perilaku ini
selain masih banyak berbagai pihak yang masih berparadigma memandang “remeh”
izin lingkungan juga tema “izin lingkungan” belum menjadi wacana mainstream
didalam pengelolaan Sumber daya alam.
Padahal UU No. 32 Tahun 2009 ditempatkan
sebagai UU Payung (umbrella act, umbrella provision, raamwet,
modewet)[1].
Makna pasal 44
dan penjelasan umum angka (5) UU No. 32 Tahun 2009 telah menegaskan. Sehingga
seluruh UU yang berkaitan dengan sumber daya alam kemudian harus memperhatikan
ketentuan didalam UU No. 32 Tahun 2009. Makna ini kemudian dipertegas dengan
menggunakan istilah “Ketentuan Lingkungan
Hidup strategis” didalam UU No. 32 Tahun 2009.
Dalam konteks UU No. 32 Tahun 2009[2][1], Izin
lingkungan kemudian diberikan makna untuk “mencegah
bahaya bagi lingkungan”. Dalam pasal
1 angka (35) UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup (UU Lingkungan Hidup) kemudian dipertegas didalam pasal 1 angka (1) PP
No. 27 Tahun 2012 Tentang Izin Lingkungan disebutkan “izin lingkungan adalah izin yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan
yang wajib amdal atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup sebagai prasyarat untuk memperoleh izin usaha dan/atau
kegiatan.
Sehingga setiap usaha/kegiatan yang
berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki amdal (Pasal 22,
Pasal 36 ayat (1) UU Lingkungan Hidup dan pasal 2 ayat (1), pasal 3 ayat
(1) PP No. 27 Tahun 2012).
Dengan
dokumen amdal maka kemudian ditetapkan keputusan kelayakan lingkungan hidup (Pasal 24 UU Lingkungan Hidup). Izin
lingkungan merupakan persyaratan untuk memperoleh izin usaha/kegiatan (pasal 40
UU Lingkungan Hidup).
Izin
lingkungan dapat dibatalkan oleh Menteri/Gubenur/Bupati/Walikota (pasal 37 ayat 2 UU Lingkungan Hidup).
Bahkan PTUN dapat membatalkan izin lingkungan hidup (Pasal 38 UU Lingkungan Hidup). Sehingga dengan dibatalkan izin
lingkungan, maka izin usaha/kegiatan dibatalkan (Pasal 40 ayat (2) UU Lingkungan Hidup).
Izin
lingkungan juga digunakan selain “mencegah
bahaya bagi lingkungan” maka harus sesuai dengan Ketentuan Lingkungan Hidup
Strategis (KLHS sebagaimana diatur
didalam pasal 15 UU LIngkungan Hidup) selain juga memperhatikan “daya
dukung dan daya tampung (Pasal 8 UU
Lingkungan Hidup).
Dengan
memperhatikan “rambu-rambu” yang
sudah disusun oleh UU Lingkungan Hidup dan PP No. 27 Tahun 2012 maka “izin
lingkungan” merupakan keharusan mutlak yang dijadikan dasar untuk melakukan
aktivitas perusahaan.
Problema
mulai timbul disaat bersamaan berbagai peraturan sektoral kemudian belum
merujuk kepada UU No. 32 Tahun 2009.
Di
sector sawit, berbagai peraturan masih menempatkan “amdal/UKL/UPL” yang
dipandang sebagai bentuk “izin lingkungan”.
Peraturan
Menteri Pertanian No. 6 Tahun 2007 (Permentan No. 6 Tahun 2007) yang kemudian
diperbaharui Peraturan Menteri Pertanian No. 98 tahun 2013 (Permentan No. 98
Tahun 2013) tidak memasukkan persyaratan izin lingkungan untuk mendapatkan IUP
(Izin Usaha Perkebunan).
Didalam
Pasal 15 Permentan No. 6 Tahun 2007 tidak tercantum sama sekali “izin lingkungan” sebagai persyaratan
untuk mendapatkan Izin Usaha Perkebunan.
OK. Permentan
No. 6 Tahun 2007 yang mengikuti alur pemikiran UU No. 23 Tahun 1997 masih
merujuk kepada UU sebelum UU No. 32 Tahun 2009 yakni UU No. 23 Tahun 1997 (alur
pemikiran UU No. 23 Tahun 1997) dimana masih menggunakan mekanisme “Amdal/UKL/UPL”
sebagai izin untuk berkegiatan yang berdampak kepada lingkungan.
Namun
sejak terbitnya UU No. 32 Tahun 2009 yang menjadi UU Payung (umbrella act, umbrella provision, raamwet, modewet) didalam
pengelolaan sumber daya alam, maka segala kegiatan/aktivitas haruslah
menggunakan mekanisme “izin lingkungan”.
“Maqom”
izin Lingkungan sebagai pondasi penting didalam pengelolaan sumber daya ala
kemudian diwujudkan didalam Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2012 (PP No. 27
Tahun 2012).
Sebagai
terjemahan pasal 36 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2009, maka izin lingkungan kemudian
diturunkan dan ditetapkan PP No. 27 Tahun 2012 telah ditegaskan
didalam pasal 2 ayat (2) PP No. 27 Tahun 2012. Didalam pasal 2 ayat (1) PP No. 27 Tahun 2012
ditegaskan “Setiap Usaha dan/atau Kegiatan yang wajib memiliki Amdal
atau UKL-UPL wajib memiliki Izin Lingkungan.
Dengan demikian maka setiap kegiatan selain memiliki
“amdal/UKL/UPL” juga menggunakan mekanisme “izin lingkungan”. Sehingga kalimat
pasal 36 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2009 junto Pasal 2 ayat (2) PP No. 27 Tahun
2012 adalah satu kesatuan. Tidak terpisahkan. Atau dengan gaya khas anak muda.
“satu tarikan nafas”.
Sehingga
ketika terbitnya Permentan
No. 98 Tahun 2013 yang merujuk kepada UU No. 32 Tahun 2009 dan PP No. 27 Tahun
2012 kemudian “memasukkan” izin lingkungan sebagai persyaratan mendapatkan Izin
Usaha Perkebuna (IUP).
Dengan
demikian maka walaupun UU Perkebunan (UU
No. 18 Tahun 2004, UU No. 39 Tahun 2014)
tidak memasukkan “izin lingkungan” sebagai persyaratan di sector perkebunan
namun sejak lahirnya UU No. 32 Tahun 2009 yang secara tegas memasukkan “izin
lingkungan” sebagai persyaratan pengelolaan sumber daya alam, maka “izin
lingkungan” adalah keharusan”. Mekanisme ini dikenal sebagai asas “lex
specialis derogate lex generalis”. Aturan khusus diperlakukan daripada aturan
umum. Sehingga sejak terbitnya UU No. 32
tahun 2009 tanggal 3 Oktober 2009 maka setiap kegiatan harus memiliki izin
lingkungan.
Problema
hukum
Bagaimana
terhadap aktivitas/kegiatan yang dilakukan telah memiliki Amdal/UKL/UPL namun
belum memiliki izin lingkungan sebelum tanggal 3 Oktober 2009 (sebelum lahirnya
UU No. 32 Tahun 2009) ?
Mekanisme
ini telah diatur didalam UU No. 32 Tahun 2009. Mekanisme pertama diatur didalam
pasal 121 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2009. Dijelaskan “Pada saat berlakunya
Undang-Undang ini, dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun, setiap usaha dan/atau
kegiatan yang telah memiliki izin usaha dan/atau kegiatan tetapi belum memiliki
dokumen amdal wajib menyelesaikan audit lingkungan hidup.
Mekanisme
kedua diatur didalam 121 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2009 “Pada saat berlakunya
Undang-Undang ini, dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun, setiap usaha dan/atau
kegiatan yang telah memiliki izin usaha dan/atau kegiatan tetapi belum memiliki
UKL-UPL wajib membuat dokumen pengelolaan lingkungan hidup.
Sedangkan
mekanisme ketiga dilakukan berdasarkan pasal 123 UU No. 32 Tahun 2009 “Segala izin di bidang
pengelolaan lingkungan hidup yang telah dikeluarkan oleh Menteri, gubernur,
atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib diintegrasikan ke dalam
izin lingkungan paling lama 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini ditetapkan.
Sehingga
paling lama setahun atau dua tahun setiap badan usaha wajib memiliki izin
lingkungan. Dapat dipastikan sejak tahun 2010-2011, setiap badan usaha yang
menjalankan kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan mempunyai konsekwensi
hukum.
Terhadap
pelanggaran dapat ditemukan didalam pasal 109 UU No. 32 Tahun 2009 “Setiap orang yang
melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat
1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00
(tiga miliar rupiah).
Dengan adanya “izin lingkungan” maka terhadap
pengelolaan lingkungan dapat memberikan hak kepada masyarakat secara luas. Hak
mendasar sebagaimana diatur didalam 65 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2009 “Setiap orang berhak atas
lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia.