19 Agustus 2017

opini musri nauli : IZIN LINGKUNGAN SEKTOR SAWIT


Akhir-akhir ini, issu izin lingkungan hidup menarik perhatian public disaat menyaksikan “drama kolosal” PT. Semen Indonesia (kasus Rembang). Publik dikejutkan dengan Gubernur Jawa Tengah kemudian harus melakukan “mencabut  izin lingkungan kepada PT. Semen Indonesia di Rembang. Namun tidak berselang waktu begitu lama, Gubernur Jawa Tengah kemudian menerbitkan izin lingkungan (dengan perbaikan varian tertentu. Seperti luas areal, perubahan nama perusahaan).

Sikap yang diambil Gubernur Jawa Tengah menggambarkan “perilaku” sebagian elite dan kalangan hukum yang masih memandang sebelah mata tentang “izin lingkungan”.

Pandangan dan perilaku ini selain masih banyak berbagai pihak yang masih berparadigma memandang “remeh” izin lingkungan juga tema “izin lingkungan” belum menjadi wacana mainstream didalam pengelolaan Sumber daya alam.

Padahal UU No. 32 Tahun 2009 ditempatkan sebagai UU Payung (umbrella act, umbrella provision, raamwet, modewet)[1]. Makna pasal 44 dan penjelasan umum angka (5) UU No. 32 Tahun 2009 telah menegaskan. Sehingga seluruh UU yang berkaitan dengan sumber daya alam kemudian harus memperhatikan ketentuan didalam UU No. 32 Tahun 2009. Makna ini kemudian dipertegas dengan menggunakan istilah “Ketentuan Lingkungan Hidup strategis” didalam UU No. 32 Tahun 2009.

Dalam konteks UU No. 32 Tahun 2009[2][1], Izin lingkungan kemudian diberikan makna untuk “mencegah bahaya bagi lingkungan”.  Dalam pasal 1 angka (35) UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU Lingkungan Hidup) kemudian dipertegas didalam pasal 1 angka (1) PP No. 27 Tahun 2012 Tentang Izin Lingkungan disebutkan “izin lingkungan adalah izin yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan. Sehingga setiap usaha/kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki amdal (Pasal 22, Pasal 36 ayat (1) UU Lingkungan Hidup dan pasal 2 ayat (1), pasal 3 ayat (1)  PP No. 27 Tahun 2012).

Dengan dokumen amdal maka kemudian ditetapkan keputusan kelayakan lingkungan hidup (Pasal 24 UU Lingkungan Hidup). Izin lingkungan merupakan persyaratan untuk memperoleh izin usaha/kegiatan (pasal 40 UU Lingkungan Hidup).

Izin lingkungan dapat dibatalkan oleh Menteri/Gubenur/Bupati/Walikota (pasal 37 ayat 2 UU Lingkungan Hidup). Bahkan PTUN dapat membatalkan izin lingkungan hidup (Pasal 38 UU Lingkungan Hidup). Sehingga dengan dibatalkan izin lingkungan, maka izin usaha/kegiatan dibatalkan (Pasal 40 ayat (2) UU Lingkungan Hidup).

Izin lingkungan juga digunakan selain “mencegah bahaya bagi lingkungan” maka harus sesuai dengan Ketentuan Lingkungan Hidup Strategis (KLHS sebagaimana diatur didalam pasal 15 UU LIngkungan Hidup) selain juga memperhatikan “daya dukung dan daya tampung (Pasal 8 UU Lingkungan Hidup).

Dengan memperhatikan “rambu-rambu” yang sudah disusun oleh UU Lingkungan Hidup dan PP No. 27 Tahun 2012 maka “izin lingkungan” merupakan keharusan mutlak yang dijadikan dasar untuk melakukan aktivitas perusahaan.

Problema mulai timbul disaat bersamaan berbagai peraturan sektoral kemudian belum merujuk kepada UU No. 32 Tahun 2009.

Di sector sawit, berbagai peraturan masih menempatkan “amdal/UKL/UPL” yang dipandang sebagai bentuk “izin lingkungan”.

Peraturan Menteri Pertanian No. 6 Tahun 2007 (Permentan No. 6 Tahun 2007) yang kemudian diperbaharui Peraturan Menteri Pertanian No. 98 tahun 2013 (Permentan No. 98 Tahun 2013) tidak memasukkan persyaratan izin lingkungan untuk mendapatkan IUP (Izin Usaha Perkebunan).

Didalam Pasal 15 Permentan No. 6 Tahun 2007 tidak tercantum sama sekali “izin lingkungan” sebagai persyaratan untuk mendapatkan Izin Usaha Perkebunan.

OK. Permentan No. 6 Tahun 2007 yang mengikuti alur pemikiran UU No. 23 Tahun 1997 masih merujuk kepada UU sebelum UU No. 32 Tahun 2009 yakni UU No. 23 Tahun 1997 (alur pemikiran UU No. 23 Tahun 1997) dimana masih menggunakan mekanisme “Amdal/UKL/UPL” sebagai izin untuk berkegiatan yang berdampak kepada lingkungan.

Namun sejak terbitnya UU No. 32 Tahun 2009 yang menjadi UU Payung (umbrella act, umbrella provision, raamwet, modewet) didalam pengelolaan sumber daya alam, maka segala kegiatan/aktivitas haruslah menggunakan mekanisme “izin lingkungan”.

“Maqom” izin Lingkungan sebagai pondasi penting didalam pengelolaan sumber daya ala kemudian diwujudkan didalam Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2012 (PP No. 27 Tahun 2012).

Sebagai terjemahan pasal 36 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2009, maka izin lingkungan kemudian diturunkan dan ditetapkan PP No. 27 Tahun 2012 telah ditegaskan didalam pasal 2 ayat (2) PP No. 27 Tahun 2012.  Didalam pasal 2 ayat (1) PP No. 27 Tahun 2012 ditegaskan “Setiap Usaha dan/atau Kegiatan yang wajib memiliki Amdal atau UKL-UPL wajib memiliki Izin Lingkungan.

Dengan demikian maka setiap kegiatan selain memiliki “amdal/UKL/UPL” juga menggunakan mekanisme “izin lingkungan”. Sehingga kalimat pasal 36 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2009 junto Pasal 2 ayat (2) PP No. 27 Tahun 2012 adalah satu kesatuan. Tidak terpisahkan. Atau dengan gaya khas anak muda. “satu tarikan nafas”.

Sehingga ketika terbitnya Permentan No. 98 Tahun 2013 yang merujuk kepada UU No. 32 Tahun 2009 dan PP No. 27 Tahun 2012 kemudian “memasukkan” izin lingkungan sebagai persyaratan mendapatkan Izin Usaha Perkebuna (IUP).

Dengan demikian maka walaupun UU Perkebunan (UU No. 18 Tahun 2004, UU No. 39  Tahun 2014) tidak memasukkan “izin lingkungan” sebagai persyaratan di sector perkebunan namun sejak lahirnya UU No. 32 Tahun 2009 yang secara tegas memasukkan “izin lingkungan” sebagai persyaratan pengelolaan sumber daya alam, maka “izin lingkungan” adalah keharusan”. Mekanisme ini dikenal sebagai asas “lex specialis derogate lex generalis”. Aturan khusus diperlakukan daripada aturan umum.  Sehingga sejak terbitnya UU No. 32 tahun 2009 tanggal 3 Oktober 2009 maka setiap kegiatan harus memiliki izin lingkungan.

Problema hukum

Bagaimana terhadap aktivitas/kegiatan yang dilakukan telah memiliki Amdal/UKL/UPL namun belum memiliki izin lingkungan sebelum tanggal 3 Oktober 2009 (sebelum lahirnya UU No. 32 Tahun 2009) ?

Mekanisme ini telah diatur didalam UU No. 32 Tahun 2009. Mekanisme pertama diatur didalam pasal 121 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2009. Dijelaskan “Pada saat berlakunya Undang-Undang ini, dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun, setiap usaha dan/atau kegiatan yang telah memiliki izin usaha dan/atau kegiatan tetapi belum memiliki dokumen amdal wajib menyelesaikan audit lingkungan hidup.

Mekanisme kedua diatur didalam 121 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2009 “Pada saat berlakunya Undang-Undang ini, dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun, setiap usaha dan/atau kegiatan yang telah memiliki izin usaha dan/atau kegiatan tetapi belum memiliki UKL-UPL wajib membuat dokumen pengelolaan lingkungan hidup.

Sedangkan mekanisme ketiga dilakukan berdasarkan pasal 123 UU No. 32 Tahun 2009 “Segala izin di bidang pengelolaan lingkungan hidup yang telah dikeluarkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib diintegrasikan ke dalam izin lingkungan paling lama 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini ditetapkan.

Sehingga paling lama setahun atau dua tahun setiap badan usaha wajib memiliki izin lingkungan. Dapat dipastikan sejak tahun 2010-2011, setiap badan usaha yang menjalankan kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan mempunyai konsekwensi hukum.

Terhadap pelanggaran dapat ditemukan didalam pasal 109 UU No. 32 Tahun 2009 “Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Dengan adanya “izin lingkungan” maka terhadap pengelolaan lingkungan dapat memberikan hak kepada masyarakat secara luas. Hak mendasar sebagaimana diatur didalam 65 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2009 “Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia.



[1] Jambi Independent, 20 Desember 2016

16 Agustus 2017

Merasa difitnah, Ketua DPRD ini polisikan Rekannya di Dewan






TRIBUNJAMBI.COM, BANGKO – Ketua DPRD Merangin Zaidan Ismail melaporkan rekannya sesama anggota dewan ke polisi. Politisi PDIP itu datang melapor ke Mapolres Merangin, Rabu (16/8) sekitar pukul 17.00 WIb, atas dugaan pencemaran nama baik.

Ditemui sejumlah wartawan usai melapor, Zaidan engan menyebutkan siapa yang dilaporkannya. Dia juga tak menyebutkan secara rinci materi laporannya.

“Ya, ini saya baru selesai diperiksa. Laporan soal pencemaran nama baik,” katanya.
Berdasarkan informasi yang didapatkan yang dilaporkan Zaidan adalah salah seorang pimpinan dewan berinisial FY.

Senada juga dibenarkan oleh pengacaranya, Musri Nauli bahwa kliennya melaporkan salah seorang anggota dewan Meragin dengan dugaan fitnah. Dimana terlapor melakukan didepan umum, tepatnya di kantin DPRD Merangin.

“Kita laporkan karena terlapor melakukan pencemaran nama baik terhadap ketua DPRD, dalam hukum namanya fitnah. Mengenai materi biarlah penegak hukum yang akan menjelaskan,” sebutnya

Tribunjambi.com, 16 Agustus 2017

14 Agustus 2017

opini musri nauli : Biodiversity gambut


Akhir-akhirnya issu gambut mulai memantik diskusi kalangan kampus, akademisi, praktisi hukum, Pemerintah, LSM dan masyarakat. Kebakaran massif sejak tahun 2006 (Walhi 2012) dan kemudian “meledak” tahun 2013, 2015 dan 2016 membuat dunia terhenyak melihat gambut. Pemerintah Jokowi “gagap” dan kewalahan menghadapi kebakaran.

11 Agustus 2017

opini musri nauli : NYONYA MENEER DAN ETNOFARMASI

Berita tentang bangkrutnya perusahaan PT. Nyonya Meneer menyentak public setelah Putusan Pengadilan Negeri Semarang menyatakannya.


Yang menarik dengan rentang berdiri sejak tahun 1919, PT Nyonya Meneer dikenal sebagai perusahaan yang bergerak di bidang industry jamu yang didirikan oleh Lauw Ping Nio alias Nyonya Meneer. Dengan usia yang panjang, Nyonya Meneer berhasil mewarnai pengetahuan masyarakat tentang Jamu. Sehingga tidak salah kemudian PT. Nyonya Meneer memiliki asset mencapai 16 trilyun dan karyawan mencapai 1.100 orang.

10 Agustus 2017

ANAK BANDEL




Selama ini, saya selalu mengamati sepak terjangnya ditengah-tengah masyarakat.

Saya mengagumi sianak "bandel", begitu saya menyebutnya sejak menjadi anak saya waktu dikampus dulu.
Tahu-tahu kemaren sore, dia muncul dikediaman saya, saya yang lagi istirahat karena agak kecapean, dengan agak malas membuka pintu, ternyata yang muncul sianak bandel itu.

Melihat tampangnya saya jadi bersemangat, langsung saya persilahkan duduk.

Saya tidak membuang waktu, langsung saya lepas umpan untuk memancing seberapa dalam ilmu yang sudah dimiikinya. 

Kami terlibat diskusi yang hangat. Selesai diskusi, dia menyerahkan sebuah karya tulisnya (buku) dgn judul: "WAJAH HTI", lantas pergi. 

Sesuai kebiasaan saya, buku tsb. langsung saya baca dan barusan selesai. 

Akhirnya saya meyakini thesis yang saya yakini selama ini, bahwa "KADAR INTELEKTUALITAS SESEORANG, TIDAK DITENTUKAN OLEH SEBERAPA TINGGI PENDIDIKAN FORMAL YANG SUDAH DITEMPUHNYA, TETAPI DITENTUKAN OLEH SEBERAPA BANYAK ILMU YG SUDAH DIGALI DAN DISERAPNYA, BAIK MELALUI LITERATUR, MAUPUN MELALUI ALAM SEKITARNYA. SEBALIKNYA SUDAH SEBERAPA BANYAK PULA ILMU YG DIMILIKI ITU DIKEMBALIKAN KEPADA MASYARAKAT, BAIK MELALUI KARYA NYATA, MAUPUN MELALUI KARYA TULS". 

Anak bandel yang satu ini mungkin memiliki sesuatu, yg tidak dimiliki anak-anak lain, yaitu:" API YANG SELALU MEMBARA DIHATINYA, YANG SIAP MEMBAKAR KETIDAK ADILAN YANG TERJADI DALAM MASYARAKAT. 

Saya sangat merindukan anak-anak muda seperti ini.

09 Agustus 2017

opini musri nauli : Silang sengkarut Peraturan Gambut


Memasuki musim panas, ingatan kolektif rakyat di 5 Propinsi (Riau, Jambi, Sumsel, Kalbar, Kalteng) mulai mengancam.

08 Agustus 2017

opini musri nauli : Hadiah 20 Tahun


20 tahun yang lalu, saya menyelesaikan “kuliah” mahasiswa paling lama dengan mengikuti ujian akhir. Mengikuti sidang Skripsi. Sebuah tugas akhir yang dilakukan mahasiswa akhir angkatan 90 Fakultas Hukum UNJA.

Sebagai mahasiswa paling akhir angkatan 90, ujian Skripsi “lebih terkesan” mengusir mahasiswa sebelum jatah kuliah habis. Atau bisa “diusir” dan gagal menjadi alumni.

30 Juli 2017

Musri Nauli : Repot Nanti Jika Pejabat Tidak Berpengalaman dan Paham dibidangnya



Hasil 3 besar Lelang Jabatan yang dalam prosesnya diduga oleh Aliansi Masyarakat Peduli Jambi Tuntas (AMPJT) banyak ditemukan pelanggaran, tampaknya mendapat perhatian khusus dari berbagai kalangan. Diantaranya Praktisi Hukum Jambi Musri Nauli.

Menurut Musri saat dihubungi kajanglakonews.com, Minggu (30/07), seleksi lelang jabatan ini kita kembalikan pada aturan yang ada. Baik itu aturan ASN maupun peraturan yang dikeluarkan oleh kementrian yang bersangkutan.

“Kan sudah jelas aturan mainnya, ya sudah Pansel ikuti saja itu, ungkap Musri.
Sementara itu terkait dengan persyaratan Administrasi yang heboh dipersoalkan belakangan ini,

Musri mengakui seyogyanya calon pejabat yang akan menduduki jabatan harus berpengalaman dan paham sesuai dengan bidang yang dilamar.

“Provinsi inikan sifatnya Koordinasi, repot nanti jika pejabat setingkat Kepala Dinas tidak paham dan berpengalaman dibidangnya, jelas Musri dengan nada tegas. (Mdn)

http://kajanglakonews.com/2017/07/30/musri-nauli-repot-nanti-jika-pejabat-kadis-tidak-beberpengalaman-dan-paham-dibidangnya/ 

opini musri nauli : BANJIR MENGINTAI PENDUDUK JAMBI




Memasuki Bulan Februari 2017, Jambi kemudian “dihadiahkan” berita tentang banjir yang menggenangi hampir seluruh wilayah di Jambi. Berbagai berita kemudian “muara” dari akibat salah urus Negara didalam menata sumber daya alamnya.

Dengan luas 2,1 juta hektar kawasan hutan namun laju  (deforestrasi) menyebabkan luas lahan kritis di Provinsi Jambi pada tahun 2007 yaitu 618.891 ha (kritis 614.117 ha dan sangat kritis 4.774 ha). Pada tahun 2011 luas lahan kritis meningkat menjadi 1.420.602 ha (kritis 341.685 ha dan sangat kritis 1.078.917 ha)[1].

29 Juli 2017

opini musri nauli : Penganiayaan berdasarkan Hukum Adat Jambi


Didalam Hukum Adat Jambi yang berdasarkan kepada “Induk 8. Anak 12” dikenal tindak pidana adat mengenai Penganiayaan.

”Anak 12” Seloko menyebutkan ’Lebam Balu” dan ”Luka Lukih”. Lembab Balu adalah perbuatan menyakiti yang menyebabkan terjadinya tanda/bekas berupa ”lebam” tanda memerah. Sedangkan ”balu” perbuatan menyakiti yang menyebabkan terjadinya ”balu” berupa tanda ”biru (balu).

opini musri nauli : EVALUASI TAHUN 2 KEPEMIMPINAN PEMERINTAHAN PROPINSI JAMBI





“Mereka berjanji membangun jembatan
meskipun sebenarnya tidak ada sungai di sana.” 
Nikita Kruschev (1894-1971)


Ketika menghadiri acara Hari Puisi Nasional, saya mendapatkan undangan untuk menghadiri acara “Bang Ros Show” di Hotel Novita tanggal 29 Juli 2017. Yang terbayang saya terhadap acara pasti akan seru, menarik, mengkritik bahkan mengecam tahun 2 Pemerintahan Zumi Zola/Fachori Umar. Saya akan membayangkan angka-angka, data-data bahkan keberhasilan pembangunan yang telah dijalani selama Pemerintahan Zola/Fachrori.

Setelah menghadiri pertemuan di Walhi Jambi, saya kemudian meluncur bersama dengan Feri Irawan (mantan Direktur Walhi Jambi dan Husni Thamri (kak ook/Pesta Pinse). Saya kemudian tekun mendengarkan paparan dari pemateri yang terdiri dari Pantun Bukit, AR Syahbandar dan Asad Isma. Ketiganya kemudian menyoroti aspek perjalanan Pemerintahan Propinsi Jambi dilihat dari aspek pemerintahan seperti “Pemberhentian 31 SKPD dan 600 pengangkatan pejabat Eselon 3 dan Eselon 4, pendidikan, Pulau Berhala dan aspek lain seperti penerimaan siswa baru. Saya kemudian mencatat setiap detail yang dipaparkn sembari melihat angka-angka ataupun data-data yang bisa disampaikan.

Saya kemudian tertarik melihat perjalanan Pemerintahan Zola/Fachori tahun ke 2 dari 3 aspek. Aspek pertama yaitu Zola sebagai Politisi,. Aspek kedua Zola sebagai Kepala Pemerintahan (Gubernur) dan aspek ketiga berkaitan dengan Pemimpin “Idol”.

Dari aspek Politisi saya kemudian teringat perkataan Nikita Kruschev (1894 – 1971) yang menyebutkan politisi “Mereka berjanji membangun jembatan meskipun sebenarnya tidak ada sungai disana.

Dalam diskusi-diskusi informal, pernyataan ini melambangkan “janji” politik yang “membuai” dan “meninabobokkan” pendengarnya (audience). Makna “mereka berjanji membangun jembatan” dipadankan dengan kalimat “meskipun sebenarnya tidak ada sungai” adalah janji yang diucapkan dihadapan audience walaupun janji itu tidak dapat dipenuhi.

Ya. Janji politisi “sulit dipegang”. Janji politisi sulit diukur apakah akan bisa “tertunai” ataupun bisa dipenuhi” setelah terpilih.

Program pertama Zola/Fachori “Merebut pulau berhala’. Janji heroic dan sekaligus “membangkitkan spirit untuk memilihnya”. Dan janji ini kemudian membangkitkan “harapan” sekaligus “mengaduk-aduk emosi rakyat Jambi yang sempat terluka “setelah lepasnya Pulau Berhala’.

Secara sekilas, janji “merebut Pulau Berhala” mampu menggetarkan dan membangkitkan sebagai perlawanan heroic sebagai program unggulan.

Namun sebagai janji politisi yang sulit diukur untuk meraihnya, setelah terpilih maka tidak ada satupun desain didalam upaya untuk mewujudkannya. Program ini tidak jelas cerita juntrungannya.

Padahal MK telah tegas memutuskan Pulau Berhala masuk kedalam wilayah administrasi Kabupaten Lingga.

Lalu apa saja kerja anggota DPR-RI dari Jambi ketika pembahasan UU Kabupaten Lingga yang kemudian memasukkan wilayah Pulau Berhala masuk kedalam kabupaten Lingga ? Dimana mereka ketika pembahasan UU tersebut.

Padahal peta-peta peninggalan Belanda jelas menunjukkan Pulau Berhala (disebutkan didalam peta sebagai “straat Berhala”) masuk kedalam Residentie Djambi. Baik didalam peta seperti peta Schetskaart Residenntie Djambi. Peta-peta ini justru menunjukkan nyata-nyata Residentie Riouw tidak memasukkan Pulau berhala masuk kedalam wilayah administrasi Riau. Didalam peta dengan jelas menggambarkan Straat Berhala masuk kedalam wilayah residentie Jambi.

Belum lagi Peta Belanda seperti Schetkaart Resintie Djambi Adatgemeenschappen (Marga’s), Tahun 1910, Skala 1:750.000, Schetskaart Van de Residentie Djambi, Tahun 1906, Skala 1 : 500.000, Schetskaart Van de Residentie Djambi, Bewerkt door het Encyclopaedisch Bureau 1922 – 1923, Skala 1 : 750.000, Automobielkaart van Zuid Sumatra Samengesteld en Uitgegeven door Koniklijke , Vereenging Java Motor Club, Tahun 1929, Skala 1 : 1.500.000, Economical MAP of The island Of Sumatra, Gold and silver, Tahun 1923, Skala 1 : 1.650.000, Verkeers en Overzichtskaart van het eiland Sumatra, Tahun 1929, Skala 1.650.000, dan Kaart van het eiland Sumatra, Tahun 1909, Skala 1 : 2.000.000, Aangevende de ligging Der Erfachtsperceelen en Landbrouwconcessies Of Sumatra, Tahun 1914, Skala 1 : 2.000.000 telah jelas menerangkan posisi Pulau Berhala termasuk kedalam Residentie. (Jambi Ekspress, 26-27 Februari 2012 dan Jambi Ekspress, 5 Maret 2017).

Namun putusan MK kemudian menyatakan hal sebaliknya. Selain pemilik tanah pernah mengajukan sertifikat Hak Milik kepada Kabupaten Lingga juga pembangunan fisik lebih intensif dilakukan oleh Kabupaten Lingga.

Dengan mengajukan sertifikat Hak Milik Tanah (SHM) kepada Kabupaten Lingga dan kemudian “pembangunan fisik oleh Kabupaten Lingga” maka menjadi pertimbangan bagi MK, Kabupaten Lingga lebih tepat memiliki Pulau Berhala dibandingkan dengan Kabupaten Tanjung Jabung Timur.

Didalam asas konsensualitas biasa dikenal sebagai “penundukan diri diam-diam (veronder stelde). Dengan “menundukkan diam-diam”, maka pemilik tanah mengakui Kabupaten Lingga sebagai “penguasa” dan “pengurus” wilayah Pulau Berhala.

Sehingga MK kemudian memutuskan UU Kabupaten Lingga lebih tepat memasukkan Pulau Berhala dibandingkan dengan UU Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Dengan maka putusan MK bersifat final dan mengikat.

Maka “merebut Pulau Berhala” adalah utopia. Mimpi disiang bolong. Atau dengan kata lain, “merebut pulau Berhala” tidak dapat dilanjutkan dan haruslah dihentikan sebagai program unggulan Zola/Fachori.

Utopia yang lain berupa paparan Visi – Misi Gubernur/Wakil Gubernur Jambi 2016 – 2021. Berdasarkan dokumen yang diserahkan kepada KPU Propinsi Jambi disebutkan “tutupan hutan  masih 70% dari wilayah Jambi.

Pertanyaan mengganggu saya adalah ‘siapa yang menyusun Visi – Misi Zola/Fachrori yang “menyebutkan “tutupan hutan masih 70% dari wilayah Jambi”. Darimana sumbernya.

Dengan kalkulasi luas wilayah Jambi 4,8 juta hektar dikalkulasikan 70% wilayah Jambi, maka menurut dokumen Visi-Misi Gubernur/Wakil Gubernur Jambi, maka tutupan hutan Jambi “masih” 3,6 juta hektar. Angka ini sungguh “menggelikan” apabila tidak dikatakan “mengerikan” ataupun “memalukan”.

Padahal berbagai data sudah menunjukkkan Laju kerusakan hutan (deforestrasi) menyebabkan luas lahan kritis di Provinsi Jambi pada tahun 2007 yaitu 618.891 ha (kritis 614.117 ha dan sangat kritis 4.774 ha). Pada tahun 2011 luas lahan kritis meningkat menjadi 1.420.602 ha (kritis 341.685 ha dan sangat kritis 1.078.917 ha).

Penurunan luasan tutupan lahan hutan Jambi selama kurun waktu 10 tahun berkurang sebesar 1 juta hektar. Dari 2,4 juta hektar pada tahun 1990 menjadi 1,4 juta hektar pada tahun 2000 atau sebesar 29,66 persen dari total luas wilayah Jambi. Pengurangan tutupan lahan hutan ini terjadi di dataran rendah dan pegunungan, yaitu 435 ribu hektar. Sisanya terjadi di lahan rawa gambut.

Belum lagi kawasan hutan sekitar 40 % dari wilayah Propinsi Jambi ternyata tidak diimbangi dengan pemberian izin kepada masyarakat. Masyarakat yang telah berada dan sekitar hutan ternyata mengalami persoalan terhadap “ruang kelola rakyat”.

Dengan penghitungan sederhana, maka “sebenarnya” tutupan hutan di Jambi tinggal 800 ribu hektar. Itupun termasuk didalam kawasan Taman Nasional.

Dengan demikian maka paradigma “tutupan hutan 70% wilayah Jambi” merupakan “ilusi” sebelum reformasi. Ataupun “mimpi” yang belum terbangun disaat kondisi sekarang.

Sehingga tidak salah kemudian “Merebut pulau Berhala” dan “tutupan hutan 70% dari wilayah Jambi” adalah Zola/Fachrori sebagai Politisi.

Sebagai Gubernur, penghormatan kepada Gubernur ditandai sebagai “Raja”. Makna ini sering disebutkan didalam Seloko Jambi “Alam sekato Rajo, Negeri sekato Bathin. Atau Alam berajo, rantau bejenang, kampung betuo, negeri bernenek mamak. Atau “Luak Sekato Penghulu, Kampung Sekato Tuo, Alam sekato Rajo, Rantau Sekato Jenang, Negeri sekato nenek moyang.

Perumpamaan Raja seperti Pohon Beringin. Yang ditandai dengan seloko Pohon gedang di tengah dusun. pohonnya rindang. Akar tempat besilo. Dan Dihormati “didahulukan selangkah. Dilebihkan sekato.

Atau “tempat pegi betanyo. Tempat balek becerito”. Yang berhak untuk memutih menghitamkam, Yang memakan habis, memancung putus, dipapan jangan berentak, diduri jangan menginjek.

Namun diskusi lebih hangat apabila dikemas dengan gaya entertainment. Saya kemudian lebih tepat melambangkan Pilkada Idol. Sehingga pemenang Pilkada adalah pemenang Idol. Dan kemudian sebagai pemenang Idol maka Zola lebih menarik dilihat sebagai gaya entertainment. Sebagai pemimpin Idol.

Sebagai hiburan ditengah “kesumpekkan” suasana politik, maka lebih menghibur suasana politik dengna melihat suasana “berselfie ria” dibandingkan angka-angka atau data-data yang membuat kepala berdenyut.

Musri Nauli : Anggap Saja Zumi Zola Sebagai Artis (Bukan Gubernur



SERUJAMBI.COM, Jambi- Salah satu praktisi hukum Provinsi Jambi, Musri Nauli, menilai Gubernur Jambi Zumi Zola, yang notabene dulu adalah salah seorang artis di nusantara, hingga saat ini masih berperan sebagai artis.

Ia menilai dari sisi Zola –sapaan Zumi Zola- sebagai tokoh politisi, sebagai pemimpin pemerintahan dan pemimpin idol atau artis. “Sampai hari ini saya melihatnya lebih kepada pemimpin idol daripada dua sisi lainnya,” ujar Musri Nauli saat memberikan pendapatnya mengenai sosok Zumi Zola, dalam diskusi publik dengan tema menagih janji Zumi Zola, di Novita Hotel, Sabtu (29/7).

Alasan Musri, hingga saat ini, yang terlihat dari Zumi Zola hanya sebatas memberikan hiburan kepada masyarakat dengan ber-selfie ria.

“Jadi daripada kita kesel sendiri melihat Pak Gubernur ini, ya, mending kita tetap anggap dia artis lah,” ujar Musri, disambut gelak tawa undangan lain.

Sementara, kalau dilihat dari Zola sebagai kepala pemerintahan, belum ada dampak positifnya  ke masyarakat. “Mungkin karena semua programnya sedang disusun,” imbuhnya.

Dalam diskusi itu, panitia menghadirkan tiga narasumber, mulai dari Wakil Ketua DPRD AR Syahbandar, tim ahli dan pengamat pemerintahan Jambi Pantun Bukit. Hadir pula As’ad Isma sebagai praktisi pemerintahan dan politik. (hry)

http://www.serujambi.com/musri-nauli-anggap-saja-zumi-zola-sebagai-artis/

27 Juli 2017

opini musri nauli : SESAT PIKIR TUGU KOTABARU





Akhir-akhir ini wacana public disuguhkan “polemic” pembangunan Tugu Kotabaru. Penulis menggunakan istilah “tugu kotabaru” sebagai jalan tengah diperdebatan “Tugu Monas” dan Tugu Keris”.

26 Juli 2017

opini musri nauli : Zinah menurut Hukum adat Jambi





Jagat belantara Jambi dihebohkan terhadap penangkapan oknum Kepolisian di Kendari (Sulawesi Tenggara). Sebagaimana diberitakan, penangkapan bermula dari laporan sang Suami yang juga kebetulan anggota kepolisian terhadap “dugaan” istrinya berselingkuh dengan oknum Kepolisian. Pihak Kepolisian kemudian berhasil mengungkapkan terhadap dugaan selingkuh istri sang Polisi.