Didalam sistem Hukum Indonesia “sebenarnya” tidak dikenal dengan gugatan hak gugat organisasi (legal standing). Legal standing bermula disaat Walhi mengajukan gugatan terhadap perusahaan pembakar asap tahun 1997. Walaupun gugatan itu ditolak, karena dianggap tidak dapat membuktikan tuduhannya, namun diterima walhi menjadi para pihak dalam proses hukum merupakan wacana baru yang “mengenyampingkan” sistem hukum Indonesia.
Legal standing “sebenarnya” hanya dikenal didalam sistem hukum Anglo Saxon. Namun sejak diterimanya gugatan Walhi dan kemudian diadopsi didalam UU no. 23 Tahun 1997 Tentang Lingkungan Hidup dan kemudian diteruskan didalam UU no. 32 Tahun 2009, mekanisme gugatan dengan cara “hak gugat organisasi” sudah menjadi mekanisme yang diterima secara hukum. Bahkan pasal 92 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2009 telah menegaskan “Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup .
Ada beberapa persyaratan dimana organisasi dapat menjadi para pihak dalam perkara-perkara yang berkaitan dengan Lingkungan Hidup. Yang jelas, didalam anggaran dasar organisasi secara tegas mencantumkan bahwa organisasinya bergerak didalam lingkungan hidup, telah menjalani aktivitas organisasi selama 2 tahun dan berbagai persyaratan lain yang membuktikan organisasi lingkungna hidup ini serius didalam pembelaan lingkungan hidup.
Sedangkan gugatan yang ditujukan tidak berkaitan dengan “ganti rugi”, hanya membicarakan perbaikan terhadap mekanisme lingkungan hidup. Pengadilan kemudian memeriksa terhadap persyaratan itu sehingga organisasi tersebut dapat menjadi para pihak didalam persidangan.
Sedangkan terhadap pihak tergugat, gugatan organisasi merupakan cara untuk melakukan “perbaikan” terhadap proses aktivitas lingkungan hidup yang “dianggap” keliru oleh mekanisme sebagaimana diatur didalam UU no. 32 Tahun 2009