Didalam ilmu hukum, perbuatan pidana namun tidak selesai bukan disebabkan dari kehendak pelaku dikenal dengan istilah percobaan (poging). Percobaan pidana merupakan salah satu unsur penting untuk melihat pembuktian terhadap tindak pidana dan hukuman dijatuhkan. Secara prinsip, percobaan dapat dibebankan sepertiga dari ancaman yang dapat dikenakan kepada pelaku.
Namun didalam KUHP, terhadap percobaan pidana (poging) tidak dapat diterapkan dan perbuatan dianggap selesai sehingga sama dengan perbuatan itu sendiri. Misalnya Pasal 104 –107, 139a dan 139b KUHP yang semuanya mengatur aanslag atau makar. Menurut ketentuan pasal 97 KUHP, makar dipandang sebagai telah ada jika maksud atau “voornemen” pelakunya telah menjadi nyata dalam suatu permulaan pelaksanaan seperti yang dimaksud dalam pasal 53 ayat (1) KUHP. Atau Pasal 110, 116, 125 dan 139c KUHP yang semuanya mengatur tentang apa yang disebut “samenspanning “ atau “permufakatan jahat”. Menurut pasal 88 KUHP, suatu permufakatan jahat itu dipandang sebagai telah terjadi, yakni setelah dua orang atau lebih mencapai kesepakatan untuk melakukan kejahatan
Sedangkan Pasal 250, 261 dan 275 KUHP dimana tindakan-tindakan persiapan atau“voorbereidengshandelingen”, yang pada hakikatnya bukan merupakan tindakan-tindakan pelaksanaan atau uitvoerings handelingen seperti diatur didalam pasal 53 ayat (1) KUHP dipandang sebagai tindak pidana yang telah dianggap telah selesai.
Percobaan pidana diperlukan selain didalam pembuktian terhadap pelaku dapat diberikan “keringanan” sepertiga dari ancaman pidana, perbuatan pidana itu sendiri tidak selesai sehingga pelaku tidak mengalami pembebanan hukuman yang begitu berat.
Dalam praktek, percobaan pidana (poging) merupakan salah satu “pintu” masuk didalam rangka untuk melepaskan sedikit kesalahan terhadap pelaku.