Dia mengatakan, pekerja jurnalistik juga harus berhati-hati dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Sebab, banyak pihak yang tidak memperhatikan UU ITE ini, sehingga bisa saja terjebak. Dia mencontohkan, untuk memposting sebuah gambar atau komentar di media sosial atau internet, juga harus berhati-hati. Karena jika tidak, bisa saja terjerat dengan UU ITE. “Apalagi pekerja jurnalistik, harus tau betul mengenai UU ITE ini,” katanya.
Selanjutnya, dia juga mengatakan dalam mempublikasikan produk jurnalistik dalam bentuk berita, harus dipastikan tidak meresahkan masyarakat dan mengganggu ketenangan. Meskipun berita yang disampaikan benar, jika akan berakibat meresahkan masyarakat sebaiknya di filter. “Seperti di Jawa, berita terkait kiyai-kiyai sangat difilter. Jarang sekali, karena sangat sensitif,” katanya.
Selain itu, Musri mengatakap jika dalam penulisan berita harus fokus dan jangan sampai bias. Topik yang diangkat menjadi headline adalah sesuatu yang berhubungan dengan masyarakat banyak. Ini juga berlaku dalam pemilihan kata pada judul berita, sehingga tidak menjadi bias.
Kemudian, terkait dengan upaya mendapatkan informasi, pekerjaan jurnalis tidak bisa dihalang-halangi. Contohnya, ketika jurnalis hendak meminta data ke sebuah instansi yang bergerak dalam bidang pelayanan publik, instansi tersebut harus menunjuk satu orang untuk memberikan informasi. Tidak bisa instansi itu menolak memberikan informasi. “Ada undang-undang KIP yang mengatur itu. Tidak harus wawancara pake mengajukan surat dulu dan administrasi lainnya,” tandasnya. (enn/mui)
Harian Jambi Independent, 31 Januari 2017
http://www.jambi-independent.co.id/musri-nauli-bekali-wartawan-ji-soal-hukum/