Istilah dimuka umum sering menimbulkan perbedaan intepretasi baik dalam penegakkan hukum maupun terhadap hak-hak konstitusional. Pasal 28 UUD 1945, Pasal 28 E ayat (3), Pasal 10 UU No. 9 tahun 1998, Piagam Hak Asasi Manusia Indonesia dalam Tap. MPR No. XVIII/MPR/1998, pasal 19, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pasal 3 ayat 2, UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, UU No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dengan tegas menyatakan “kebebasan menyampaikan pendapat” yang kemudian diikuti dengan dimuka umum.
Kemerdekaan menyampaikan pendapat dimuka umum merupakan esensi dari demokrasi. Namun terhadap hak haruslah dibebani kewajiban untuk menjaga agar hak yang diberikan konstitusi tidak mengganggu hak orang lain. Didalam hukum kemudian dikenal kejahatan yang disampaikan dimuka umum.
Baik kejahatan seperti Pengrusakan, penganiayaan maupun penghinaan dimuka umum. Termasuk penyebaran kebencian (hatzakai artikelen) dimuka umum. Baik kepada penguasa maupun penghinaan terhadap seseorang.
Sedangkan menurut Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 10 K/Kr/1975 tanggal 17 Maret 1976, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kata “openlijk” dalam naskah asli pasal 170 Wetboek van Strafrecht lebih tepat diterjemahkan “secara terang-terangan”,istilah mana mempunyai arti yang berlainan dengan “openbaar”atau “dimuka umum”. “secara terang-terangan”berarti tidak secara sembunyi, jadi tidak perlu dimuka umum, cukup apabila tidak diperlukan apa ada kemungkinan orang lain dapat melihatnya.
Sedangkan menurut Hoge Raad 2 Maret 1908, dengan “secara terang-terangan dan menggunakan kekerasan” diartikan apa yang disebut “vis publica” terhadap orang atau barang.
Dengan melihat berbagai rumusan mengenai “dimuka umum” maka sering menimbulkan persoalan dalam tataran penegakkan hukum.