Istilah Rio begitu hidup di tengah masyarakat. Rio Pembarap di Dusun Koto Teguh, Rio Penganggun Jago Bayo di Dusun Tanjung Mudo. Rio Kemunyang di Dusun Durian Rambun. Nama Rio Kemunyang kemudian dijadikan nama Hutan Desa.
Di Marga Batin Pengambang dikenal Rio Cekdi Pemangku Rajo. Yang bertugas menjaga pintu dari Timur. Dengan wilayahnya Bathin Pengambang, Batu berugo, Narso.Di Batin V Sarolangun dikenal “Rio Depati Jayaningat Singodilago”.
Di Batin III Ulu juga dikenal Rio yang memimpin di Dusun Senamat Ulu, Lubuk Beringin dan Aur Chino. Begitu juga di Marga Pelawan.
Istilah Kerio disampaikan oleh Yamin didalam tesisnya menyebutkan “Marga mempunyai beberapa desa (dusun) yang dikepalai oleh kerio, sama dengan lurah. Dusun ibu marga (semacam ibu kota, yaitu tempat kedudukan pasirah) dikepalai oleh pembarab yang sewaktu-waktu dapat mewakili pasirah, manakala pasirah itu berhalangan. Urusan agama disusun pasirah itu dikuasai penghulu yang dibantu katib (di dusun-dusun dikepalai katib). Istilah ini bisa ditemukan didalam “Sistem Pemerintahan Tradisional Rejang: Marga atau Kutei” dan Disertasi Mawardi J.
Mawardi J kemudian menyebutkan Hierarki pemerintahan di bawah sultan terdiri dari daerah-daerah yang dipimpin pejabat setingkat gubernur masa sekarang yang disebut Rangga. Kerangga, atau Tumenggung,wilayah kekuasaannya disebut Ketemenggungan. Daerah kekuasaan Rangga terdiri beberapa Marga yang dipimpin Pesirah Marga. Para pesirah yang banyak berjasa kepada sultan diberi gelar Adipati atau Depati. Sebuah marga terdiri sejumlah desa yang dipimpin Kerio atau Proatin. Kepala desa yang di desanya terdapat Pesirah tidak disebut Kerio tetapi disebut Pembarap. Kedudukan pembarap sedikit lebih tinggi dari kerio, karena pembarap juga merupakan wakil Pesirah. Setiap desa terdiri beberapa kampung yang dipimpin Penggawa. Pada tahun 1826 sistem pemerintahan marga diambil alih pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Sejak itu dalam struktur pemerintahan, marga berada di bawah dan tunduk kepada kekuasaan Residen.
Ketiga daerah yaitu Palembang, Bengkulu dan Lampung tunduk kepada Undang-undang Simbur Cahaya. Kitab yang berisikan kodifikasi ketentuan hukum kerajaan yang berlaku abad ke-17 di wilayah Kesultanan Palembang. Kodifikasi undang-undang itu dilakukan oleh Ratu Sinuhun Sending, permaisuri Sultan Sending Kenayan (1629 – 1636).
Selain Rio dikenal Depati. Depati adalah raja atau penguasa adat yang mengepalai wilayah tertentu. Perubahan Pamuncak ke Depati terjadi pada masa Adityawarman menjadi raja Melayu yang berpusat di Pagaruyung (1347-1376). Ia mengganti gelar dengan gelar Depati. Gelar Depati berasal dari kata Adipati yang berarti jabatan tertinggi.
Setelah kekuasaan raja Adityawarman berakhir (1350-1526), daerah Kerinci dan Merangin menjadi negeri merdeka dengan nama negeri Pucuk Jambi dengan raja Pangeran Temenggung Kabul Dibukit, di bawah kesultanan Jambi. Kerajaan berpusat di Ujung Tanjung Muaro Masumai.
Namun, pada tahun 1524 M, untuk menjaga wilayah dari para pendatang, Pamuncak dan Pembarap membentuk 3 wilayah Depati dan wilayah Mangku.
Istilah Depati dapat ditemukan didalam Surat Sutan Anum Seri Ingalaga (1743-1770). Surat dari Raja biasa dikenal di masyarakat sebagai piagam, titah, surat, cap and undang-undang. Di Marga Renah Pembarap dikenal Sultan Anom Seri Mogoro yang disebut tanah Depati atau Tanah Batin Yang ditandai dengan Piagam Lantak Sepadan yang menyatakan wilayah Marga Renah Pembarap. Menurut Datuk H Abubakar didalam tulisannya “Masyarakat Adat Guguk Jambi”, Piagam Lantak Sepadan bertarikh 1170 h/1749 Masehi. Dalam silsilah Raja Jambi, periode 1740-1770 dipimpin oleh Sultan Astra Ingologo.
Dalam Buku Encydopaedie van Nederland Indie, tahun 1918 yang bahannya diambil dari Tambo Adat Kerajaan Manjuto di Renah Kemumu Serampas dengan dipimpin oleh Depati Pulang Jawa. Selain itu dikenal Depati Singo Negaro dan Depati Karti Mudo Menggalo.
Bambang Hariyadi, didalam bukunya ‘Orang Serampas: Tradisi dan Pengetahuan Lokal di Tengah Perubahan menyebutkan “Depati Singo Negaro di Tanjung Kasri. Depati Pulang Jawo di Renah Kemumu. Depati karti Mudo Menggalo di Renah Alai, Rantau Kermas dan Lubuk Mentilin”
Dalam penjelasan F. J. Tideman dan P. L. F. Sigar diterangkan, “Kepala-kepala Adat di Kesultanan – Federasi, dusun, kampung menggunakan berbagai macam-macam gelar, seperti Rio, Rio Depati, Rio Pamuncak, Tumenggung, Depati, Kedenang, Lurah, Penghulu, Mangku. Mereka memiliki wewenang pelaksanaan hukum besar atau hukum kecil.
Bandingkan Pemerintahan Marga dimulai sejak tahun 1904, ketika Sultan Taha wafat yang sekaligus merupakan tahun jatuhnya Kesultanan Jambi di bawah taklukan. Belanda dan dimasukkan oleh Belanda dalam Keresidenan Palembang. Baru pada tahun 1906, Jambi dijadikan satu Residen yang dipimpin Resident OI Relfricht.
Sebelumnya sejarah Margo ditetapkan oleh Pemerintah Belanda. Dari berbagai sumber disebutkan, marga yang mulanya bersifat geneologis-territorial. Menurut Regeering Reglement (RR) 1854, Nederlandse Indie diperintah oleh Gubernur Jenderal atas nama Raja/Ratu Nederland secara sentralistis. Daerah Nederlandse Indie dibagi dalam dua kategori besar yaitu daerah Indirect Gebied dan Direct Gebied. Daerah Indirect Gebied adalah daerah yang diperintah secara tidak langsung oleh penguasa Batavia. Istilah Marga telah dikemukakan oleh J.W.Royen, seorang pegawai Pemerintahan Kolonial yang sedang cuti dalam disertasinya (1927).
Tahun 1928, Belanda menetapkan Ordonansi yang disebut Inlandsche Gemeent Ordonantie Buitengewestan (IGOB). Dengan peraturan ini, marga diberi legitimasi struktural dalam pemerintahan Hindia Belanda. Kepala-kepala marga (Pasirah) dipilih dari para pemimpin adat tingkat marga.
Pemerintah Hindia Belanda secara resmi mengakui kedudukan Marga sebagai kesatuan adat yang berbadan hukum baru pada tahun 1938 melalui IGOB (Inlandse Gemeente Ordonantie Buitengewesten) Stbl 1938 No. 490, Dalam IGOB (Inlandse Gemeente Ordonantie Buitengewesten) Stbl 1938 no. 490
Dengan demikian maka istilah “rio” sudah dikenal sebelum penetapan Marga oleh Belanda
Namun di Jambi, wilayah Jambi tidak tunduk dan bagian dari Kerajaan Palembang. Menurut H. Rotani Yutaka, Undang-undang Jambi diputuskan oleh para tokoh yang hadir dalam rapat adat di bukit Sitinjau Laut Kerinci. Biasa dikenal Deklarasi Bukit Sitinjau Laut.
Peserta yang hadir antara lain adalah Tuangku Mangkudum Sumanik Batu Sangkar, Tuan Kadi Padang Ganting, Datuk Parapatih Nan Sabatang, Pangeran Temenggung Kabul Dibukit, Datuk Duo Duko Berhalo Pematang Serampeh Tuo. Hasil pertemuan dalam tambo adat disebut dengan istilah “sijambak sijambu tanam, mano urat, manolah batang, mano dahan, manolah ranting, manolah daun penutup buah, batang yang tiado boleh di tinggalkan, kayu “RU” medang cerano”. Maksudnya adalah bahwa pemimpin dengan masyarakat merupakan kearifan lokal di masa itu, pemimpin adalah orang yang memimpin masyarakat dan masyarakat yang pimpin kepada pemimpin. Hubungan baik ini sering diibaratkan dalam ungkapan “lukah dengan air, apakah lukah dalam air atau air di dalam lukah”. Kesepakatan lain dalam pertemuan para tokoh di bukit Sitinjau Laut Kerinci tersebut adalah kesepakatan menentukan batas-batas yang saat ini disebut “sepucuk Jambi sembilan lurah”.
Undang-undang adat Jambi memuat aturan-aturan hukum adat istiadat masyarakat di kerajaan Melayu Jambi. Undang-undang Jambi menyebut hukum pidana adat dengan istilah “kesalahan” atau “salah” dan “sumbang” untuk menyatakan perbuatan yang bertentangan dengan hukum adat. Ada dua bentuk kesalahan atau sumbang, yaitu kesalahan kecil atau sumbang kecil dan kesalahan besar atau sumbang besar.
Daerah Jambi mempunyai undang-undang adat yang disebut “undang nan dua puluh” yang tidak boleh dilanggar oleh siapa pun juga. Undang-undang nan dua puluh terbagi menjadi dua bagian. (1). Undang nan delapan yaitu undang-undang yang menyatakan perbuatan kejahatan, dengan kata lain tindak kejahatan itu adalah tindak pidana. (2).Undang nan dua belas yaitu yang disebut undang-undang pemakaian, sifatnya lebih merupakan pelanggaran, dalam beberapa hal merupakan hukum perdata.
Dan dalam praktek di tengah masyarakat, berbagai nilai-nilai dan pranata-pranata norma didalam UU SImbur Cahaya sama sekali tidak dikenal dan diterapkan di masyarakat.
Istilah “ringgit” dalam sanksi denda sama sekali tidak dikenal. Dalam praktek yang masih diterapkan, denda disesuaikan dengan tingkat kesalahan. Dimulai dari sanksi “ayam sekok. Beras segantang. Selemak-semanis”, “kambing sekok. Beras 10 gantang. Selemak semanis” hingga “kerbau sekok. Beras seratus gantang. Selemak semanis”.
Sedangkan sanksi adat didalam UU Simbur Cahaya mengenal pelayanan “ringgit” dan “tengang satu kambing”.
Masyarakat masih menggunakan aturan adat sebagaimana norma yang telah diperlakukan sebelum kedatangan Belanda. Aturan yang masih diterapkan hingga kini.
Dengan demikian berdasarkan Surat Sutan Anum Seri Ingalaga (1743-1770), Piagam Lantak Sepadan, Encydopaedie van Nederland Indie, tahun 1918, Piagam Serampas, Bukunya F. J. Tideman dan P. L. F. Sigar Djambi, Koninklijke Vereeniging, Amsterdam, 1938 dan deklarasi Bukit Sitinjau Laut maka UU Simbur Cahaya “tidak pernah” diperlakukan di wilayah residen Jambi.
Penetapan Marga yang mengatur Rio tahun 1904 kemudian mengikuti cara yang digunakan Kerajaan Palembang setelah sebelumnya Belanda menetapkan Marga di Palembang tahun 1825.